Sejalan dengan pembangunan visi bersama Masyarakat
Ekonomi Asean pada 2015, maka teritori regional di Asia Tenggara ini
pada 2020 akan membuka secara liberal industri perbankan. Menarik
untuk disimak kesiapan lembaga keuangan bank domestik menghadapi
tantangan tersebut.
Pembahasan sektor
finansial tersebut nantinya dilaksanakan dalam kerangka ASEAN
Banking Integration Frame Work (ABIF), dan saat ini belum
terbentuk kesepakatan tertulis bersama, karena Indonesia masih belum
memberikan persetujuan, dikarenakan belum diakseptasinya asas
resiprokal.
Dalam hal itu, urgensi
resiprokal adalah terkait dengan kesetaraan, dimana harus terdapat
petunjuk yang jelas diantara 10 negara ASEAN secara multilateral,
untuk membuka ruang yang sama dalam kesediaan dan kemudahan perijinan
guna menjalankan pasar keuangan terbuka dibidang perbankan.
Keberatan terbesar
Indonesia, dapat dipahami karena berdasarkan Global Finance
Database (2012) diketahui bahwa Indonesia sudah sangat terbuka
dan menjadi negara tujuan berinvestasi perbankan asing dengan
proporsi 52%, kondisi ini hanya jauh lebih baik dari Singapura (55%)
namun masih diatas Malaysia (33%), Thailand (19%) maupun Filipina
(13%).
Tingkat depedensi
-ketergantungan asing yang besar tersebut membuat kerawanan dalam
aspek ketahanan dan kondisi stabilitas ekonomi nasional, pun termasuk
berpeluang meningkatkan terjadinya penularan krisis (contagion)
dari negara asal bank asing tersebut.
Dominasi bank asing
bahkan dapat terlihat dari catatan jumlah kantor cabang bank asing
yang mencapai 43,4% dari total kantor cabang yang beroperasi di
Indonesia. Lebih jauh lagi, kemampuan industri perbankan lokal masih
terfragmentasi secara majemuk, sehingga tidak terbangun kekuatan
jangkar yang menjadi tumpuan dari benchmark perbankan didalam negeri.
Peta Perbankan
ASEAN?
Sesuai dengan data 2013,
Indonesia setidaknya memiliki 120 bank, hal itu berbeda dengan
Singapura yang hanya 3 bank, namun kualitas perbankan negeri Singa
ini menjadi yang terbesar di ASEAN, berbeda pula atas negeri jiran
Malaysia yang memiliki 8 bank saja.
Padahal potensi Indonesia
masih lebar bagi industri perbankan. Tengok saja data LPS 2012,
penduduk di atas 15 tahun -sekitar 239,9 juta, hanya 19,6% yang
memiliki rekening bank, dengan basis rekening simpanan 15,3% dan
rekening kredit 8,5%. Jauh berbeda dari Malaysia 66.2% sebanyak 28,4
juta jiwa, atau Thailand 72,7%, bahkan Singapura sebesar 98,2%.
Sementara itu, dalam
komparasi kekuatan perbankan Indonesia atas kompetitor setaranya
ditingkat ASEAN, maka kita terbilang tertinggal jauh. Berturut 3 bank
besar ASEAN adalah milik Singapura yaitu DBS bermodal US$ 26,5
miliar, UOB US$ 19,2 miliar, dan OCBC dengan modal US$ 18
miliar.
Pada sisi kapitalisasi pasar, bank terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Termasuk dari sisi aset, 3 bank Singapura ini pula juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4 miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2 miliar.
Pada sisi kapitalisasi pasar, bank terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Termasuk dari sisi aset, 3 bank Singapura ini pula juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4 miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2 miliar.
Bila berkaca pada perbankan Indonesia, maka hanya 3 bank yang masuk listing 15 Bank di ASEAN yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Central Asia (BCA). Dari sisi permodalan, Bank Mandiri peringkat (8) modal US$ 7,3 miliar, diikuti BRI (10) modal US$ 6,5 miliar, dan BCA (13) modal US$ 5,3 miliar, bahkan gabungan ketiga bank ini masih dibawah modal DBS. Berkaitan dengan kapitalisasi pasar, BCA peringkat (6) senilai US$ 19,4 miliar, diikuti Bank Mandiri (8) senilai US$ 15,1 miliar, kemudian BRI (10) dengan nilai US$ 14,7 miliar.
Arsitektur
Perbankan Kita
Periode 2020 tentu
terlihat dekat, namun dalam waktu yang terbatas tersebut pemerintah
harus memiliki konsep yang mumpuni dalam memperkuat posisi perbankan
ditanah air. Potensi yang luar biasa besar menjadikan kita sebagai
pangsa pasar bagi industri perbankan asing.
Siasat yang manjur adalah
dengan melakukan konsolidasi perbankan, menjadikan jumlah perbakan
lebih efektif dan efisien dalam memberikan layanan kepada seluruh
lapisan masyarakat, atau membentuk sinergi yang kuat sehingga dapat
menjadi kekuatan kolektif perbankan lokal.
Kepentingan yang bersifat
urgent adalah membentuk Anchor Bank -jangkar perbankan nasional,
sehingga diperoleh bank dengan kekuatan dalam aspek permodalan,
kapitalisasi dan asset yang membuat perbankan domestik dapat bersaing
ditingkat ASEAN, tidak hanya menjadi pasar semata.
Bahayanya bila hal ini
tidak diantisipasi dengan baik, maka potensi pengelolaan dana dan
kredit ditanah air menjadi makanan empuk perbankan asing, dan efek
ketergantungan akut tersebut akan membuat kita tidak memiliki nilai
ketahanan ekonomi, karena imbas krisis dinegeri asal perbankan itu
bisa mengguncangkan stabilitas ekonomi nasional.
Pemerintahan yang baru
hendaknya memastikan terjadinya konsolidasi perbankan nasional,
sebelum nantinya bila hendak ikut terlibat dalam pembukaan pasar
industri perbankan regional ASEAN. Posisi kita saat ini sudah tepat
untuk menolak perjanjian pembukaan pasar perbankan Asia Tenggara bila
tidak terdapat jaminan yang cukup untuk keadilan dan kesetaran dalam
mkemudahan berekspansi dinegara tetangga.
Meski sebenarnya secara
tidak langsung pada posisi Indonesia, market kita sesunggunya sudah
sangat terbuka, karena praktek perbankan asing didalam negeri sudah
begitu massif, tengok saja jalanan di Ibukota yang ramai dipenuhi
perbankan berlabel negara tetangga, dan kita hanya terdiam terpaku
ketika semua sudah terjadi.
Sumber foto:
www.itoday.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar