Selasa, 30 September 2014

Bagaimana Kekuatan Perbankan Kita? Studi Kasus Ekonomi ASEAN


Sejalan dengan pembangunan visi bersama Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015, maka teritori regional di Asia Tenggara ini pada 2020 akan membuka secara liberal industri perbankan. Menarik untuk disimak kesiapan lembaga keuangan bank domestik menghadapi tantangan tersebut.

Pembahasan sektor finansial tersebut nantinya dilaksanakan dalam kerangka ASEAN Banking Integration Frame Work (ABIF), dan saat ini belum terbentuk kesepakatan tertulis bersama, karena Indonesia masih belum memberikan persetujuan, dikarenakan belum diakseptasinya asas resiprokal.

Dalam hal itu, urgensi resiprokal adalah terkait dengan kesetaraan, dimana harus terdapat petunjuk yang jelas diantara 10 negara ASEAN secara multilateral, untuk membuka ruang yang sama dalam kesediaan dan kemudahan perijinan guna menjalankan pasar keuangan terbuka dibidang perbankan.

Keberatan terbesar Indonesia, dapat dipahami karena berdasarkan Global Finance Database (2012) diketahui bahwa Indonesia sudah sangat terbuka dan menjadi negara tujuan berinvestasi perbankan asing dengan proporsi 52%, kondisi ini hanya jauh lebih baik dari Singapura (55%) namun masih diatas Malaysia (33%), Thailand (19%) maupun Filipina (13%).

Tingkat depedensi -ketergantungan asing yang besar tersebut membuat kerawanan dalam aspek ketahanan dan kondisi stabilitas ekonomi nasional, pun termasuk berpeluang meningkatkan terjadinya penularan krisis (contagion) dari negara asal bank asing tersebut.

Dominasi bank asing bahkan dapat terlihat dari catatan jumlah kantor cabang bank asing yang mencapai 43,4% dari total kantor cabang yang beroperasi di Indonesia. Lebih jauh lagi, kemampuan industri perbankan lokal masih terfragmentasi secara majemuk, sehingga tidak terbangun kekuatan jangkar yang menjadi tumpuan dari benchmark perbankan didalam negeri.

Peta Perbankan ASEAN?

Sesuai dengan data 2013, Indonesia setidaknya memiliki 120 bank, hal itu berbeda dengan Singapura yang hanya 3 bank, namun kualitas perbankan negeri Singa ini menjadi yang terbesar di ASEAN, berbeda pula atas negeri jiran Malaysia yang memiliki 8 bank saja.

Padahal potensi Indonesia masih lebar bagi industri perbankan. Tengok saja data LPS 2012, penduduk di atas 15 tahun -sekitar 239,9 juta, hanya 19,6% yang memiliki rekening bank, dengan basis rekening simpanan 15,3% dan rekening kredit 8,5%. Jauh berbeda dari Malaysia 66.2% sebanyak 28,4 juta jiwa, atau Thailand 72,7%, bahkan Singapura sebesar 98,2%.

Sementara itu, dalam komparasi kekuatan perbankan Indonesia atas kompetitor setaranya ditingkat ASEAN, maka kita terbilang tertinggal jauh. Berturut 3 bank besar ASEAN adalah milik Singapura yaitu DBS bermodal US$ 26,5 miliar, UOB US$ 19,2 miliar, dan OCBC dengan modal US$ 18 miliar.

Pada sisi kapitalisasi pasar, bank terbesar di ASEAN adalah DBS asal Singapura dengan nilai US$ 33,1 miliar dan diikuti oleh OCBC dengan nilai US$ 27,7 miliar. Termasuk dari sisi aset, 3 bank Singapura ini pula juga menempati 3 besar di ASEAN, yaitu DBS dengan aset US$ 318,4 miliar, OCBC dengan aset US$ 268,1 miliar, dan UOB dengan aset US$ 225,2 miliar.

Bila berkaca pada perbankan Indonesia, maka hanya 3 bank yang masuk listing 15 Bank di ASEAN yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Central Asia (BCA). Dari sisi permodalan, Bank Mandiri peringkat (8) modal US$ 7,3 miliar, diikuti BRI (10) modal US$ 6,5 miliar, dan BCA (13) modal US$ 5,3 miliar, bahkan gabungan ketiga bank ini masih dibawah modal DBS. Berkaitan dengan kapitalisasi pasar, BCA peringkat (6) senilai US$ 19,4 miliar, diikuti Bank Mandiri (8) senilai US$ 15,1 miliar, kemudian BRI (10) dengan nilai US$ 14,7 miliar.

Arsitektur Perbankan Kita

Periode 2020 tentu terlihat dekat, namun dalam waktu yang terbatas tersebut pemerintah harus memiliki konsep yang mumpuni dalam memperkuat posisi perbankan ditanah air. Potensi yang luar biasa besar menjadikan kita sebagai pangsa pasar bagi industri perbankan asing.

Siasat yang manjur adalah dengan melakukan konsolidasi perbankan, menjadikan jumlah perbakan lebih efektif dan efisien dalam memberikan layanan kepada seluruh lapisan masyarakat, atau membentuk sinergi yang kuat sehingga dapat menjadi kekuatan kolektif perbankan lokal.

Kepentingan yang bersifat urgent adalah membentuk Anchor Bank -jangkar perbankan nasional, sehingga diperoleh bank dengan kekuatan dalam aspek permodalan, kapitalisasi dan asset yang membuat perbankan domestik dapat bersaing ditingkat ASEAN, tidak hanya menjadi pasar semata.

Bahayanya bila hal ini tidak diantisipasi dengan baik, maka potensi pengelolaan dana dan kredit ditanah air menjadi makanan empuk perbankan asing, dan efek ketergantungan akut tersebut akan membuat kita tidak memiliki nilai ketahanan ekonomi, karena imbas krisis dinegeri asal perbankan itu bisa mengguncangkan stabilitas ekonomi nasional.

Pemerintahan yang baru hendaknya memastikan terjadinya konsolidasi perbankan nasional, sebelum nantinya bila hendak ikut terlibat dalam pembukaan pasar industri perbankan regional ASEAN. Posisi kita saat ini sudah tepat untuk menolak perjanjian pembukaan pasar perbankan Asia Tenggara bila tidak terdapat jaminan yang cukup untuk keadilan dan kesetaran dalam mkemudahan berekspansi dinegara tetangga.

Meski sebenarnya secara tidak langsung pada posisi Indonesia, market kita sesunggunya sudah sangat terbuka, karena praktek perbankan asing didalam negeri sudah begitu massif, tengok saja jalanan di Ibukota yang ramai dipenuhi perbankan berlabel negara tetangga, dan kita hanya terdiam terpaku ketika semua sudah terjadi.

Sumber foto: www.itoday.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar