Sebagai badan usaha milik
negara maka perusahaan sekelas Pertamina memang dituntut untuk
memiliki insting bisnis sekaligus memberikan pelayanan kepada publik
secara meluas. Salah satu yang menarik adalah keputusan untuk
melakukan strategi menaikkan harga Elpiji untuk ukuran tabung 12 Kg
secara berkala mencapai harga keekonomian pada 2016.
Dengan demikian, kerugian
dalam penjualan elpiji 12 Kg akan tereduksi menjadi 5.7T atau
bekurang sebesar Rp452M pada akhir tahun ini. Harga ekonomi dari
Elpiji 12 kg adalah Rp181.400 pertabung, dimana kenaikan bertahap
kini mematok angka Rp 18ribu/ kg yang membuat harga jual dasar
Pertamina adalah Rp90.828 dan harga akhir pasar ke konsumen
diperkirakan menjadi Rp120 ribu.
Sesungguhnya bagaimana
BUMN berlaku secara profesional dalam hal ini? Bagaimana pula
implementasi perlindungan bagi masyarakat bila kemudian pilihan
pencapaian target keuntungan menjadi hal yang tidak terelakkan dalam
penyelenggaraan sebuah BUMN? Pelik dan sulit, namun dalam pahit yang
getir itu kita harus realistis dalam menempatkan sudut pandang.
Kasus elpiji 12Kg adalah
upaya Pemerintah dalam beban kerugian yang selama ini ditanggungnya,
bersamaan dengan hal tersebut dalam hukum kekalan energi maka
sebenarnya beban tersebut dipindahkan ke konsumen denganmenggunakan
instrumen kenaikan harga, bila kemudian istitusi yang notabene adalah
milik pemerintah sudah tidak ditujukan bagi upaya melindungi publik,
maka apa yang hendak dibangun?
Tidak dapat ditolak, era
pasar liberal menjadi sebuah azas yang utama, Pancasila menjadi
konsep bernegara namun tidak menjadi haluan dalam implementasi
ekonomi secara realita. Pada pasar yang berfluktuasi tersebut, tentu
bukan barang sulit mencari keuntungan bila sifat bisnisnya adalah
monopoli, maka begitu pula Pertamina, perangkat harga adalah alat
untuk membiak laba.
Dalam kerangka utuh, maka
pola ini sesungguhnya masih rasional untuk dapat diterima jika
kemudian terdapat implementasi yang gigih dari dampak ekonomi atas
usaha yang dilakukan perusahaan berlabel pemerintah itu pada
kontribusinya yang langsung pada masyarakat, karena informasi
tersebut tertutup dan tidak terlihat apa peran signifikan Pertamina
akan konsepsi perlindungan akan hajat hidup publik?.
Belum lagi dengan
kapasitas yang dimilikinya Pertamina nampak limbung dalam persaingan
dikancah internasional, tidak gesit dan cergas membaca kondisi yang
terjadi. Pendefinisian ulang atas simbol kuda laut yang buncit dan
lamban itu baru sebatas permukaan, karena sesungguhnya harus ada opsi
cerdas lain yang dapat dipaparkan terkait kinerja keseluruhan.
Jangan sampai, amputasi
dilakukan pada aspek yang terbilang vital sementara luka kronis yang
hakikat justru belum ditangani, seperti efisiensi cost production
hingga mencari sumber bahan baku yang jauh lebih murah dalam komponen
elpiji?
Bahkan dalam kalkulasi
ekonomi sekalipun sulit menerima alasan bahwa komponen gas dihitung
dengan menggunakan acuan CP Aramco yang sekitar 891.78 dolar AS
dengan nilai tukar Rp11.453 seolah hendak membangun tambahan amunisi
rasional atas kebijakan menaikan harga elpiji, padahal kapasitas gas
domestik jauh lebih banyak dari minyak kita yang memang sedang dalam
kondisi tekor.
Cadangan dan produksi gas
yang melimpah itu harus diukur sebagai sumber kepentingan publik,
bukan semata dihitung dari laba persero. Nah harus dipertanyakan apa
seluruh produksi elpiji kita dipasok dari import? Sehingga bila di
bechmark terhadap CP Aramco maka berimbas kerugian? Atau asumsi
kerugian terjadi apabila kemudian hasil produksi kita dilepas ke
harga pasar dengan acuan CP Aramco maka terjadi potential loss,
karena total produksi justru dinikmati konsumen dalam negeri.
Sesuai penelurusan ini,
masih terbilang abu-abu data tersebut, karena itu menjadi Dirut BUMN
adalah hal yang teramat pelik dari sekedar mencari keuntungan, namun
sekaligus memastikan kepastian perlindungan bagi kepentingan publik
secara bersamaan.
sumber foto: medanbisnisdaily.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar