Kamis, 11 September 2014

Elpiji: Logika Jual Rugi dan Konsepsi BUMN

Sebagai badan usaha milik negara maka perusahaan sekelas Pertamina memang dituntut untuk memiliki insting bisnis sekaligus memberikan pelayanan kepada publik secara meluas. Salah satu yang menarik adalah keputusan untuk melakukan strategi menaikkan harga Elpiji untuk ukuran tabung 12 Kg secara berkala mencapai harga keekonomian pada 2016.

Dengan demikian, kerugian dalam penjualan elpiji 12 Kg akan tereduksi menjadi 5.7T atau bekurang sebesar Rp452M pada akhir tahun ini. Harga ekonomi dari Elpiji 12 kg adalah Rp181.400 pertabung, dimana kenaikan bertahap kini mematok angka Rp 18ribu/ kg yang membuat harga jual dasar Pertamina adalah Rp90.828 dan harga akhir pasar ke konsumen diperkirakan menjadi Rp120 ribu.

Sesungguhnya bagaimana BUMN berlaku secara profesional dalam hal ini? Bagaimana pula implementasi perlindungan bagi masyarakat bila kemudian pilihan pencapaian target keuntungan menjadi hal yang tidak terelakkan dalam penyelenggaraan sebuah BUMN? Pelik dan sulit, namun dalam pahit yang getir itu kita harus realistis dalam menempatkan sudut pandang.

Kasus elpiji 12Kg adalah upaya Pemerintah dalam beban kerugian yang selama ini ditanggungnya, bersamaan dengan hal tersebut dalam hukum kekalan energi maka sebenarnya beban tersebut dipindahkan ke konsumen denganmenggunakan instrumen kenaikan harga, bila kemudian istitusi yang notabene adalah milik pemerintah sudah tidak ditujukan bagi upaya melindungi publik, maka apa yang hendak dibangun?

Tidak dapat ditolak, era pasar liberal menjadi sebuah azas yang utama, Pancasila menjadi konsep bernegara namun tidak menjadi haluan dalam implementasi ekonomi secara realita. Pada pasar yang berfluktuasi tersebut, tentu bukan barang sulit mencari keuntungan bila sifat bisnisnya adalah monopoli, maka begitu pula Pertamina, perangkat harga adalah alat untuk membiak laba.

Dalam kerangka utuh, maka pola ini sesungguhnya masih rasional untuk dapat diterima jika kemudian terdapat implementasi yang gigih dari dampak ekonomi atas usaha yang dilakukan perusahaan berlabel pemerintah itu pada kontribusinya yang langsung pada masyarakat, karena informasi tersebut tertutup dan tidak terlihat apa peran signifikan Pertamina akan konsepsi perlindungan akan hajat hidup publik?.

Belum lagi dengan kapasitas yang dimilikinya Pertamina nampak limbung dalam persaingan dikancah internasional, tidak gesit dan cergas membaca kondisi yang terjadi. Pendefinisian ulang atas simbol kuda laut yang buncit dan lamban itu baru sebatas permukaan, karena sesungguhnya harus ada opsi cerdas lain yang dapat dipaparkan terkait kinerja keseluruhan.

Jangan sampai, amputasi dilakukan pada aspek yang terbilang vital sementara luka kronis yang hakikat justru belum ditangani, seperti efisiensi cost production hingga mencari sumber bahan baku yang jauh lebih murah dalam komponen elpiji?

Bahkan dalam kalkulasi ekonomi sekalipun sulit menerima alasan bahwa komponen gas dihitung dengan menggunakan acuan CP Aramco yang sekitar 891.78 dolar AS dengan nilai tukar Rp11.453 seolah hendak membangun tambahan amunisi rasional atas kebijakan menaikan harga elpiji, padahal kapasitas gas domestik jauh lebih banyak dari minyak kita yang memang sedang dalam kondisi tekor.

Cadangan dan produksi gas yang melimpah itu harus diukur sebagai sumber kepentingan publik, bukan semata dihitung dari laba persero. Nah harus dipertanyakan apa seluruh produksi elpiji kita dipasok dari import? Sehingga bila di bechmark terhadap CP Aramco maka berimbas kerugian? Atau asumsi kerugian terjadi apabila kemudian hasil produksi kita dilepas ke harga pasar dengan acuan CP Aramco maka terjadi potential loss, karena total produksi justru dinikmati konsumen dalam negeri.

Sesuai penelurusan ini, masih terbilang abu-abu data tersebut, karena itu menjadi Dirut BUMN adalah hal yang teramat pelik dari sekedar mencari keuntungan, namun sekaligus memastikan kepastian perlindungan bagi kepentingan publik secara bersamaan.

sumber foto: medanbisnisdaily.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar