Selasa, 30 September 2014

Waspada Licin Minyak: Ekonomi Ikat Pinggang

Dalam waktu tidak seberapa lama lagi, pemerintahan baru akan segera dilantik. Bersamaan dengan itu, tantangan awal yang dihadapi adalah penyikapan atas harga BBM. Terdengar selentingan informasi mengenai rencana melakukan eskalasi harga BBM bersubsidi, dikisaran tambahan Rp3.000/ Liter.

Dengan demikian, maka nantinya harga jual bensin premium menjadi Rp 9.500/liter dan solar subsidi sekitar Rp 8.500/liter. Lebih jauh lagi, bantalan ekonomi sudah dicadangkan pada anggaran 2014 dan tahun 2015 guna menjaga daya beli masyarakat, berbentuk Bantuan Langsung Tunai Rp5Triliun/ tahun.

Apakah hal tersebut sudah aman? Tentu saja tidak, sesuai dengan kalkulasi ekonomi, maka nilai anggaran BLT yang Rp5Triliun hanya akan memberi nafas tambahan dalam kurun 2 bulan, dengan target sasaran nasional mencapai 27 juta jiwa yang akan terkena dampak imbas kenaikan harga BBM.

Alasan kenaikan, jelas mengacu pada persoalan ruang fiskal pemerintah yang terbatas untuk menanggung beban subisidi BBM dari harga keekonomian. Dimana porsi subsidi energi mencapai porsi 25% dari APBN, dimana subsidi BBM pada tahun ini sejumlah 48 Juta KL senilai Rp 246,5 Triliun dan meningkat pada APBN 2015 menjadi Rp 276,01 Triliun.

Disamping itu, dalih lain yang menguatkan kepentingan untuk menaikkan harga BBM adalah efisiensi anggaran, dimana kenaikan Rp1.000/ liter akan mampu memberikan efek penghematan mencapai Rp40 Triliun, bila memang benar apresiasi harga sebesar Rp3.000/ liter maka cadangan keuangan negara irit hingga Rp 120Triliun.

Kenaikan Harga dan Kemiskinan

Problemnya jelas tidak hanya disitu, kenaikan harga BBM akan menjadi stimulus bagi efek berantai yang saling terkait. Pasti, harga barang menjadi naik, UMP pun akan ikut secara latah tahunan mengalami kenaikan, belum lagi tarif listrik, biaya transportasi dan terakhir suku bunga perbankan.

Terpuruknya nilai tukar rupiah, belum membaiknya kondisi ekonomi dunia, perubahan politik dan terjadinya penurunan pola konsumsi Cina termasuk juga di Amerika Serikat yang menjadi indikator dunia menjadi bagian dari sandungan yang menghadang, termasuk arus pasar bebas ASEAN-2015.

Sebagian ekonom, memprediksi kenaikan BBM setara Rp 1.000/liter saja maka akan menambah inflasi hingga naik 1,43%, disaat yang bersamaan, kemiskinan juga akan tumbuh 0,41%. Bila sudah demikian, kenaikan yang Rp3.000/ liter akan secara aktual menghasilkan problem sosial.

Antisipasinya tentu tidak bisa hanya dengan BLT yang hanya 2 bulan, terlebih efek pembelajaran yang dihasilkan tidak kontekstual, dikarenakan konsumsi atas BLT justru bisa jadi tidak dipergunakan pada kebutuhan konsumsi dasar, hal ini terkait peningkatan standar hidup atau bisa jadi salah target sasaran.

Padahal target pad 2015, tidak kalah besarnya, antara lain pertumbuhan ekonomi 5,8%, inflasi diangka 4,4%, dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) minyak U$105 dollar/ barel, target lifting minyak 900.000 barel/ hari, serta lifting gas 1.248 MBOEPD. Pendapatan negara disepakati Rp1.793,6 triliun dan belanja negara senilai Rp2.039,5 triliun, defisit mencapai Rp245,9 triliun atau 2,21%.

Berkaca dari sudut pandang penerimaan pajak, berdasarkan realisasi September 2014, baru mencapai Rp 683 triliun dari target Rp 1.232,1 triliun, atau baru sekitar 50%, dengan demikian memang kondisi perekonomian kita masih jauh dari sehat meski tidak terlalu sakit.

Sudah dapat dipastikan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan efek demam, ketika stamina perekonomian bangsa ini tidak dalam performa terbaiknya. Jadi, apakah kenaikan harga BBM akan menjadi obat mujarab dari efek permulaan sakit ini? Jawabnya sangat tergantung dari kemampuan pemerintah dalam menjelaskan langkah praktis keseluruh rakyat.

Selama ini, masyarakat menjadi objek pelengkap penderita, sementara kebijakan pemerintah diambil tanpa diketahui arah tujuan yang hendak dicapai. Mestinya, pemerintahan baru mendatang mampu merumuskan secara terperinci langkah sistematik apa saja yang dipersiapkan dalam membangun harapan seluruh masyarakat akan kesejahteraan, karena hal tersebut adalah amanat konstitusi.

Perlu pula disinkronisasi dengan berbagai langkah nyata dalam menterjemahkan keadilan melalui pemberantasan mafia migas yang selama ini ditengarai menjadi bagian dari biang keladi persoalan. Melalukan pemberantasan penyelundupan, membangun sektor transportasi publik yang terintegrasi dan nyaman serta manusiawi, termasuk melakukan sinkronisasi kebijakan disektor otomotif.

Kita perlu meminum obat, meski pahit dan memiliki harapan akan kesembuhan, tetapi harus disertai dengan anjuran dokter yang ahli yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik, dalam posisi tersebut pemerintah mendatang perlu membentuk role model kepemimpinan yang memberi teladan akan hidup hemat mengencangkan ikat pinggang menjadi sebuah kesederhanaan, karena efisiensi dari efek kenaikan harga BBM kali ini, jangan membuat kepercayaan publik menjadi terpelesat akibat saking licinya.

Sumber foto: bandung.bisnis.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar