Dalam
waktu tidak seberapa lama lagi, pemerintahan baru akan segera
dilantik. Bersamaan dengan itu, tantangan awal yang dihadapi adalah
penyikapan atas harga BBM. Terdengar selentingan informasi mengenai
rencana melakukan eskalasi harga BBM bersubsidi, dikisaran tambahan
Rp3.000/ Liter.
Dengan
demikian, maka nantinya harga jual bensin premium menjadi Rp
9.500/liter dan solar subsidi sekitar Rp 8.500/liter. Lebih jauh
lagi, bantalan ekonomi sudah dicadangkan pada anggaran 2014 dan tahun
2015 guna menjaga daya beli masyarakat, berbentuk Bantuan Langsung
Tunai Rp5Triliun/ tahun.
Apakah
hal tersebut sudah aman? Tentu saja tidak, sesuai dengan kalkulasi
ekonomi, maka nilai anggaran BLT yang Rp5Triliun hanya akan memberi
nafas tambahan dalam kurun 2 bulan, dengan target sasaran nasional
mencapai 27 juta jiwa yang akan terkena dampak imbas kenaikan harga
BBM.
Alasan
kenaikan, jelas mengacu pada persoalan ruang fiskal pemerintah yang
terbatas untuk menanggung beban subisidi BBM dari harga keekonomian.
Dimana porsi subsidi energi mencapai porsi 25% dari APBN, dimana
subsidi BBM pada tahun ini sejumlah 48 Juta KL senilai Rp 246,5
Triliun dan meningkat pada APBN 2015 menjadi Rp 276,01 Triliun.
Disamping
itu, dalih lain yang menguatkan kepentingan untuk menaikkan harga BBM
adalah efisiensi anggaran, dimana kenaikan Rp1.000/ liter akan mampu
memberikan efek penghematan mencapai Rp40 Triliun, bila memang benar
apresiasi harga sebesar Rp3.000/ liter maka cadangan keuangan negara
irit hingga Rp 120Triliun.
Kenaikan
Harga dan Kemiskinan
Problemnya
jelas tidak hanya disitu, kenaikan harga BBM akan menjadi stimulus
bagi efek berantai yang saling terkait. Pasti, harga barang menjadi
naik, UMP pun akan ikut secara latah tahunan mengalami kenaikan,
belum lagi tarif listrik, biaya transportasi dan terakhir suku bunga
perbankan.
Terpuruknya
nilai tukar rupiah, belum membaiknya kondisi ekonomi dunia, perubahan
politik dan terjadinya penurunan pola konsumsi Cina termasuk juga di
Amerika Serikat yang menjadi indikator dunia menjadi bagian dari
sandungan yang menghadang, termasuk arus pasar bebas ASEAN-2015.
Sebagian
ekonom, memprediksi kenaikan BBM setara Rp 1.000/liter saja maka akan
menambah inflasi hingga naik 1,43%, disaat yang bersamaan, kemiskinan
juga akan tumbuh 0,41%. Bila sudah demikian, kenaikan yang Rp3.000/
liter akan secara aktual menghasilkan problem sosial.
Antisipasinya
tentu tidak bisa hanya dengan BLT yang hanya 2 bulan, terlebih efek
pembelajaran yang dihasilkan tidak kontekstual, dikarenakan konsumsi
atas BLT justru bisa jadi tidak dipergunakan pada kebutuhan konsumsi
dasar, hal ini terkait peningkatan standar hidup atau bisa jadi salah
target sasaran.
Padahal
target pad 2015, tidak kalah besarnya, antara lain pertumbuhan
ekonomi 5,8%, inflasi diangka 4,4%, dengan harga Indonesia Crude
Price (ICP) minyak U$105 dollar/ barel, target lifting minyak 900.000
barel/ hari, serta lifting gas 1.248 MBOEPD. Pendapatan negara
disepakati Rp1.793,6 triliun dan belanja negara senilai Rp2.039,5
triliun, defisit mencapai Rp245,9 triliun atau 2,21%.
Berkaca
dari sudut pandang penerimaan pajak, berdasarkan realisasi September
2014, baru mencapai Rp 683 triliun dari target Rp 1.232,1 triliun,
atau baru sekitar 50%, dengan demikian memang kondisi perekonomian
kita masih jauh dari sehat meski tidak terlalu sakit.
Sudah
dapat dipastikan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan efek demam,
ketika stamina perekonomian bangsa ini tidak dalam performa
terbaiknya. Jadi, apakah kenaikan harga BBM akan menjadi obat mujarab
dari efek permulaan sakit ini? Jawabnya sangat tergantung dari
kemampuan pemerintah dalam menjelaskan langkah praktis keseluruh
rakyat.
Selama
ini, masyarakat menjadi objek pelengkap penderita, sementara
kebijakan pemerintah diambil tanpa diketahui arah tujuan yang hendak
dicapai. Mestinya, pemerintahan baru mendatang mampu merumuskan
secara terperinci langkah sistematik apa saja yang dipersiapkan dalam
membangun harapan seluruh masyarakat akan kesejahteraan, karena hal
tersebut adalah amanat konstitusi.
Perlu
pula disinkronisasi dengan berbagai langkah nyata dalam
menterjemahkan keadilan melalui pemberantasan mafia migas yang selama
ini ditengarai menjadi bagian dari biang keladi persoalan. Melalukan
pemberantasan penyelundupan, membangun sektor transportasi publik
yang terintegrasi dan nyaman serta manusiawi, termasuk melakukan
sinkronisasi kebijakan disektor otomotif.
Kita
perlu meminum obat, meski pahit dan memiliki harapan akan kesembuhan,
tetapi harus disertai dengan anjuran dokter yang ahli yang memiliki
kompetensi komunikasi yang baik, dalam posisi tersebut pemerintah
mendatang perlu membentuk role model kepemimpinan yang memberi
teladan akan hidup hemat mengencangkan ikat pinggang menjadi sebuah
kesederhanaan, karena efisiensi dari efek kenaikan harga BBM kali
ini, jangan membuat kepercayaan publik menjadi terpelesat akibat
saking licinya.
Sumber
foto: bandung.bisnis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar