Sudah lama sesungguhnya waktu yang diberikan dalam implementasi UU No.4/2009
tentang hilirisasi tambang terkait pembangunan pabrik pengolahan dan
pemurnian mineral (smelter).
Ada saja masalah serta alasan yang diajukan oleh para perusahaan di
bidang pertambangan untuk berkelit dari kewajiban akan pasal
tersebut, sesungguhnya tidak lebih dari upaya buying time.
Komitmen tuntuk
memberlakukan pemberian nilai tambah bagi barang tambang mineral
sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 jelas
merupakan langkah yang positif, jangan sampai bahan mentah tambang di
perut bumi Indonesia yang menjadi komoditas dunia dihargai rendah.
Permasalahan mulai dari
persoalan, teknologi yang sulit, kapasitas yang tidak mencukupi
hingga biaya investasi yang besar selalu menjadi alasan untuk
berkilah, masalahnya kemudian pemerintah tidak berada dalam posisi
tawar yang terlalu tinggi sehingga pelaksanaan ketentuan tersebut
tetap saja molor.
Padahal amanat terpenting
dari keberadaan kewajiban pembangunan smelter adalah upaya untuk
memberi nilai tambah dari produk baku, dimana nantinya fasilitas
tersebut akan melakukan pengolahan hasil eksplorasi dan eksploitasi
bahan mentah pertambangan menjadi produk olahan dasar.
Larangan ekspor bahan
tambang mineral mentah, serta kewajiban membangun smelter adalah
sebuah konstruksi bagi pembangunan roadmap industri pertambangan
didalam negeri, karena diharapkan hal tersebut akan memberi dampak
jangka panjang akibat pertambahan nilai pengolahan.
Terang saja akan terjadi
multiplier effect yang berkaitan, dimana perusahaan tambang akan
membangun perusahaan pengolahan dan harga eksport mineral bertambah,
sehingga dapat memperkuat pendapatan dimasa mendatang, dan untuk itu
investasi smelter menjadi sebuah keharusan.
Sikap pemerintah yang
tarik ulur ketika berhadapan dengan pemain pertambangan asing yang
mengeruk banyak bahan tambang mentah, jelas sangat mengkhawatirkan.
Kondisi mandegnya pembangunan smelter harusnya menjadi titik awal
pemerintah menegakkan wibawa dengan tidak memberikan toleransi lebih
jauh dalam aspek ketegasan akan ketaatan peraturan.
Perlu juga dipikirkan
dengan durasi waktu kontrak karya yang sudah berkepanjangan, serta
begitu banyaknya jumlah material mineral mentah yang diperdagangkan,
maka tingkat kemauan yang rendah dari perusahaan tambang di tanah air
menjadi sebuah indikasi dari komitmen yang buruk.
Kita belum melangkah
lebih jauh untuk bertanya mempersoalkan kapasitas alih teknologi
dalam dunia pertambangan, serta apa saja yang didapat oleh negeri ini
yang menjadi objek eksploitasi alam selain kerusakan alam?.
Evaluasi mendalam dari
keberadaan industri disektor pertambangan perlu dilakukan, karena
kita berbicara mengenai sumber daya alam yang akan habis dan tidak
dapat diperbaharui yang harusnya menjadi kekayaan bangsa di masa
mendatang, sehingga jika kita serampangan melakukan pengelolaan
dimasa sekarang, sesungguhnya kita menggadaikan masa depan generasi
penerus.
Point dimana pasal
tentang pemberian nilai tambah akan produk tambang mentah dengan
membentuk pabrik pengolahan (smelter) harusnya menjadi sarana banding
yang kuat bagi pemerintah, termasuk melindungi kekayaan kita yang
terus tergerus, sekaligus memikirkan potensi kekayaan alam tersebut
dikelola oleh kemampuan anak negeri sendiri.
Sumber Foto:
bisnis.liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar