Minggu, 21 September 2014

Waspada Ekspose Segmentasi Garuda di Eropa


Kita memiliki kebanggaan pada kemampuan Garuda Indonesia yang telah menjajaki pembukaan pasar Eropa, maskapai nasional ini membuka rute penerbangan non stop ke London via hub Amsterdam.

Dengan tambahan rute luar negeri, sudah pasti diharapkan hal tersebut dapat menjadi kontribusi tambahan bagai perusahaan penerbangan pelat merah ini dalam menumpuk keuntungan jangka panjang.

Jelas saja, hal ini merupakan sebuah prestasi pasca penutupan rute Eropa pada medio 2007, dan membuat si Burung Flag Carrier ini harus serius membuktikan mekanisme keamanan yang mereka miliki.

Kejadian di 2007 tersebut jelas sebuah kecelakaan, namun fatal akibatnya, karena bersamaan dengan perhatian dunia akan perbaikan safety sistem aviasi yang dikelola secara ketat pada industri perdagangan.

Siapa sangka, kini hampir satu dasawarsa berselang, rute Eropa Jakarta-London mampu memiliki load  di kisaran 83-84% dengan jenis burung besi pengangkut Boeing 777-300ER berkapasitas 314 penumpang.

Tentu hal tersebut menjadi sebuah cacatan manis berprestasi, setelah sebelumnya Garuda Indonesia menurut Skytrax pada 2013 dinobatkan sebagai "World Best Economy Class" dan "World Best Economy Class Seat".

Sayang, ada hal nampak tidak tepat disampaikan pada paparan segmentasi audience dan target yang disasar dari negeri BigBen berasal itu, karena disebutkan bahwa kaum Gay turut diharapkan menjadi segmen yang dibidik. Terlebih, menurut penjelasan yang diberikan, karena kumpulan ini solid bahkan kerap merayakan Gay Pride.

Sesungguhnya segmentasi adalah upaya memilah pasar sebelum kemudian memilih target market.
Pada segmentasi alat ukur bagi pemilahan bisa banyak macam, termasuk sex, namun tidak berasosiasi dengan menyebut orientasi sexual, karena hal itu tidak termasuk menjadi alat pemisah.

Jika kemudian diharapkan kelompok dalam komunitas penyuka sesama ini (gay, lesbi, transgender) menjadi bagian dari target yang dituju, maka hal itu sebaiknya dalam kepentingan tertutup secara internal tanpa ekspose berlebih.

Boleh saja kita menyebut hal itu adalah upaya mengakseptasi kondisi multimajemuk penduduk dinegara Ratu Elizabeth, tetapi saat kemudian kondisi ini dipaparkan secara umum, justru bisa menjadi negative marketing bagi Garuda Indonesia.

Perlu diakomodasi pula lapisan yang tidak berkenan dengan keberadaan kelompok sejenis, meski tanpa bermaksud diskriminatif, tetapi dalam aspek pemasaran hal yang berbias serta tidak jelas, sebaiknya dihindari untuk tidak menciptakan persepsi buruk.
Karena dampak dari bad persepsi itu akan dapat menjadi potensi ancaman atau bahkan hambatan yang secara aktual menjadi problem bagi bisnis Garuda Indonesia itu sendiri.

Berbekal jumlah 8.000 WNI dan 290 ribu pelancong pertahun yang berplesir ke London dengan neraca perdagangan Indonesia dan Inggris pada 2012 tercatat US$ 7,2 miliar, tentu bisa menjadi dorongan penarik, "ship follow the trade". 

Kalau sudah demikian maka sebaiknya soal yang berada di Grey Area tidak perlu ditampilkan kemuka agar tidak menjadi persoalan dikemudian hari, dan kita harus bijak memandang hal tersebut.

Karena improvisasi yang tidak mengantisipasi dampak yang berbalik, justru bisa berubah menjadi bencana manakala kita tidak siap mengatasinya.

Sumber foto: travel.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar