Kita memiliki kebanggaan pada
kemampuan Garuda Indonesia yang telah menjajaki pembukaan pasar Eropa, maskapai
nasional ini membuka rute penerbangan non stop ke London via hub Amsterdam.
Dengan tambahan rute luar negeri,
sudah pasti diharapkan hal tersebut dapat menjadi kontribusi tambahan bagai
perusahaan penerbangan pelat merah ini dalam menumpuk keuntungan jangka
panjang.
Jelas saja, hal ini merupakan sebuah
prestasi pasca penutupan rute Eropa pada medio 2007, dan membuat si Burung Flag
Carrier ini harus serius membuktikan mekanisme keamanan yang mereka miliki.
Kejadian di 2007 tersebut jelas
sebuah kecelakaan, namun fatal akibatnya, karena bersamaan dengan perhatian
dunia akan perbaikan safety sistem aviasi yang dikelola secara ketat pada
industri perdagangan.
Siapa sangka, kini hampir satu
dasawarsa berselang, rute Eropa Jakarta-London mampu memiliki load di
kisaran 83-84% dengan jenis burung besi pengangkut Boeing 777-300ER
berkapasitas 314 penumpang.
Tentu hal tersebut menjadi sebuah
cacatan manis berprestasi, setelah sebelumnya Garuda Indonesia menurut Skytrax
pada 2013 dinobatkan sebagai "World Best Economy Class" dan
"World Best Economy Class Seat".
Sayang, ada hal nampak tidak tepat
disampaikan pada paparan segmentasi audience dan target yang disasar dari
negeri BigBen berasal itu, karena disebutkan bahwa kaum Gay turut diharapkan
menjadi segmen yang dibidik. Terlebih, menurut penjelasan yang diberikan,
karena kumpulan ini solid bahkan kerap merayakan Gay Pride.
Sesungguhnya segmentasi adalah upaya
memilah pasar sebelum kemudian memilih target market.
Pada segmentasi alat ukur bagi
pemilahan bisa banyak macam, termasuk sex, namun tidak berasosiasi dengan
menyebut orientasi sexual, karena hal itu tidak termasuk menjadi alat pemisah.
Jika kemudian diharapkan kelompok
dalam komunitas penyuka sesama ini (gay, lesbi, transgender) menjadi bagian
dari target yang dituju, maka hal itu sebaiknya dalam kepentingan tertutup
secara internal tanpa ekspose berlebih.
Boleh saja kita menyebut hal itu
adalah upaya mengakseptasi kondisi multimajemuk penduduk dinegara Ratu
Elizabeth, tetapi saat kemudian kondisi ini dipaparkan secara umum, justru bisa
menjadi negative marketing bagi Garuda Indonesia.
Perlu diakomodasi pula lapisan yang
tidak berkenan dengan keberadaan kelompok sejenis, meski tanpa bermaksud
diskriminatif, tetapi dalam aspek pemasaran hal yang berbias serta tidak jelas,
sebaiknya dihindari untuk tidak menciptakan persepsi buruk.
Karena dampak dari bad persepsi itu
akan dapat menjadi potensi ancaman atau bahkan hambatan yang secara aktual
menjadi problem bagi bisnis Garuda Indonesia itu sendiri.
Berbekal jumlah 8.000 WNI dan 290
ribu pelancong pertahun yang berplesir ke London dengan neraca perdagangan
Indonesia dan Inggris pada 2012 tercatat US$ 7,2 miliar, tentu bisa menjadi
dorongan penarik, "ship follow the trade".
Kalau sudah demikian maka sebaiknya
soal yang berada di Grey Area tidak perlu ditampilkan kemuka agar tidak menjadi
persoalan dikemudian hari, dan kita harus bijak memandang hal tersebut.
Karena improvisasi yang tidak
mengantisipasi dampak yang berbalik, justru bisa berubah menjadi bencana
manakala kita tidak siap mengatasinya.
Sumber
foto: travel.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar