Nampaknya arah kebijakan
dalam pengelolaan tata import minyak nasional disebut-sebut akan
mengalami perubahan, dikarenakan rencana penutupan Petral, entah
apakah hal tesebut akan menjadi satu arahan yang direalisasikan atau
sekedar wacana publik semata.
Petral atau PT Pertamina
Energy Trading Ltd (Petral), memiliki sejarah panjang trading minyak,
dahulu berpusat di Hongkong pada 1969, lalu berpindah ke Singapura.
Sempat pula dimiliki keluarga Cendana dengan proporsi saham Tommy
Soeharto (25%) dan Bob Hasan melalui Nusamba Group (25%) ketika masih
bernama Perta Oil berbendera Perta Oil Marketing Ltd (POML) medio
1970-an.
Secara prinsip keberadaan
perusahaan ini adalah anak usaha Pertamina, dengan kepemilikan saham
100% dan diberi mandat penuh untuk melakukan urusan trading,
sekaligus menjadi market intelligent bagi Pertamina akan
informasi baru dan akurat dibisnis emas hitam.
Misi yang mulia belum
tentu akan tetap mulia pada pelaksanaannya, skema pembelian yang
ditengarai tidak terbuka hingga interupsi tangan-tangan halus, muncul
seiring dengan membengkaknya kebutuhan minyak dalam negeri yang harus
ditutup dengan menggunakan jalur importase.
Bahkan keberadaan di
Singapura yang terbilang jauh dari aspek pengawasan secara langsung
dari pusatnya di Indonesia semakin menumbuhkan prasangka yang sulit
ditolak. Meski demikian, sesuai dengan apa yang dituturkan Dahlan
Iskan -Meneg BUMN bahwa Petral berada dibasis perdagangan minyak
dunia, tunduk atas supremasi hukum negeri Singa agar tehindar dari
intervensi politik lokal.
Masih saja jawaban itu
tidak memuaskan banyak pihak, pun termasuk karena letak yang
berjauhan dapat memungkinkan terjadinya manipulasi, bahkan kekeliruan
koordinasi, termasuk memanfaatkan senjang komunikasi menjadi lubang
keuntungan yang menganga bagi kepentingan segelintir pihak.
Kita banyak belajar dari
Kasus Bail Out Century yang ternyata selisih data bergeser dari
Rp632Miliar menjadi Rp6.7 T, tentu timbul kekhawatiran tersebut.
Tidak menjadi jaminan pula tunduk pada hukum negara lain, membuat
tangan kekuasaan tidak merambah melintas batas negara.
Terlebih kemudian
disebutkan bahwa alasan pembelian yang dilakukan dengan trader akan
dapat memberikan keuntungan, terlebih karena harga bisa lebih murah
dibandingkan melakukan pembelian langsung.
Disini kita pun akan
kembali bertanya, dalam konteks logika ekonomi, tenaga perantara
memiliki nilai biaya tambahan dari sekedar biaya produk asal, sudah
barang tntu harga akan menjadi bertambah. Katakanlah soal pembelian
langsung yang Direct berskema G2G maka yang harus dicermati adalah
membangun format komunikasi bisnis yang sistematik sehingga
mendapatkan harga kompetitif.
Tentu keanehan itu
menjadi praduga yang bertambah, karena asumsi yang dibuat
memposisikan trader minyak memiliki superioritas power untuk bisa
berkomunikasi dengan negara penghasil minyak mentah dibandingkan
jalinan komunikasi yang dibangun dengan menggunakan jalur bisnis
antar negara.
Entahlah..., namun
penutupan Petral harus dibarengi dengan perbaikan tata kelola pasokan
import minyak, karena kita sudah harus sadar bahwa negeri Zambrut
Khatulistiwa ini bukan lagi pengimport melainkan konsumen kelas berat
minyak dunia, termasuk secara strategis mendorong penguatan hulu
migas termasuk mencari sumber sumur dan ladang minyak baru serta
membenahi kilang produksi minyak bersama jalur distribusinya. Semoga
saja kali ini bisa diwujudkan.
Sumber foto:
penumpaskorupsi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar