Senin, 29 September 2014

Revolusi Twitter & Akun Pak Menteri: Akankah Ditutup?

Dari seabrek aplikasi sosial media, maka salah satu yang menonjol adalah Twitter, layanan jejaring sosial yang diluncurkan sejak 2006 ini menjadi unik karena keterbatasannya untuk menyampaikan pesan, hanya 140 karakter.

Space yang terbatas itu justru menjadi daya tarik utamanya, kini Twitter si burung yang gemar bercuit itu bertengger diperingkat 10 besar Alexa -sebuah situs yang merating peringkat didunia maya.

Bukan hanya itu, pengguna aktifnya sekitar 200juta, dengan 340 juta kicauan multibahasa perhari, dengan taksiran pendapatan U$317juta pada 2013.

Ditanah air, pertumbuhan pengguna sosial media Twitter mengalami pertumbuhan pesat, karena aksesibilitas yang mudah terjadi melalui sebuah gadget smartphone.

Tidak hanya sebagai ekspresi individu, kicauan di Twitter pun tidak urung menjadi sarana ungkapan publik secara bersama dengan penggunaan tanda pagar -hashtag.

Pesan yang berulang -retweet menjadi sebuah rantaian dari percakapan untuk satu tematik tertentu yang tidak henti dan meluas dibahas mewujud menjadi -trending topic.

Khususnya ditanah air, kita melihat penggunaan Twitter dalam segala aspek, termasuk wilayah politik domestik, dan hal ini menjadi concern baru dari budaya melek politik melalui sosial media.

Pada kasus terakhir, fenomena yang terjadi ditanah air yang hangat dan kontemporer secara aktual adalah menyangkut persepsi publik atas persetujuan RUU Pilkada, yang memberikan ruang pemilihan Kepala Daerah dikembalikan melalui DPRD, bukan lewat jalur pilihan langsung.

Bahkan, netizen -panggilan bagi pengguna sosial media melakukan gerakan ber-hashtag #ShameOnYouSBY sebagai bentuk ekspresi penolakan, dikarenakan partai dibawah pimpinan SBY -selaku Ketua Partai dan Presiden, justru melakukan WalkOut yang membuat kemenangan berada dikubu Pilkada tidak langsung.

Cuitan mengenai topik tersebut meluas dan menjadi pembicaraan didunia internasional, karena posisinya berada diperingkat atas Trending Topic percakapan via Twitter secara Global.

Revolusi Twitter
Aplikasi sosial media yang dibatasi karakter dalam penyampaian pesan ini, memang telah terbukti menjadi sarana berkumpulnya keriuhan publik.

Tidak hanya itu, kebersamaan sudut pandang dalam satu aspek percakapan pun dapat berakhir menjadi aktifitas fisik yang sensasional nan luar biasa.

Pengalaman negara Timur Tengah membuktikan hal tersebut, Arab Spring pada 2011 yang menandai perubahan tatanan sosial sebagai bentuk interaksi pesan melalui sosiaal media yang menjangkau secara meluas penggunanya.

Kebangkitan dunia Arab, dalam bentuk unjuk rasa dan rangkaian protes sebagai bentuk tantangan atas bentuk pemerintahan diktator, ketimpangan ekonomi dan sosial serta berbagai kondisi politik di Jazirah Arab yang sudah usang.

Revolusi terjadi dan membesar, Twitter memainkan peran sebagai pencetus kebersamaan, membangun komunikasi dan mengorganisir elemen kekuatan sipil untuk melakukan gerakan perubahan.

Demonstrasi sipil itu berujung pada pergantian kekuasaan dan menggoyang struktur politik yang kaku, tercatat Tunisia merupakan negara awal tempat terjadinya Revolusi via Twiiter, kemudian menyebar hingga ke Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Lebanon dan berbagai negara semenanjung Timur Tengah lain.

Akun Pak Menteri @tifsembiring
Pada hashtag #ShameOnYouSBY yang menjadi pembicaraan publik, mencuat kicauan dari Menteri Telekomunikasi dan Informasi -Tifatul Sembiring mengenai penutupan social media Twitter.

“Beberapa negara spt Turki, Arab Saudi, Mesir pernah menutup twitter. Indonesia belum pernah menutup Twitter. Ada usulan?” @tifsembiring akun Twitter pribadinya pada 28/9.

Menariknya, meski berpotensi membangun persepsi akan penutupan Twitter, ternyata pak Menteri pun sangat aktif ber-twitter.

Politisi PKS yang pernah menjabat sebagai Ketua Partai periode 2005-2010 itu, tercatat berkicau 26.6K, dengan mem-follow 2.137 dengan jumlah pengikut sebanyak 812.5K.

Dari hasil evaluasi Klout Score -aplikasi untuk melihat nilai pengaruh akun sosial media akan dampak bagi orang lain, maka akun pak Menteri diberi angka 82, yang terbilang tinggi dalam memberi influence.

Hal ini, dipengaruhi oleh tidak hanyaa juah followers, repetisi pesan, jumlah pembicaraan pada akun dan berbagai metriks pengukuran dampak akun social media serupa Twitter pada lingkungan audiens.

Dalam cermatan pada akun pak Menteri, terlihat jelas bahwa akun tersebut aktif ber-tweet, mulai sejak pagi hingga kicauan akhir. Dimulai dengan sapaan pagi yang memberikan efek refleksi dan motivasi hingga publikasi kegiatan pribadi.

Tidak hanya itu, pemilik akun pun responsif menjawab, termasuk berpantun, mungkin maklum saja posisinya adalah Menteri Telekomunikasi dan Informasi.

Sebagai user aktif sosial media Twitter, yang tentu memahami aspek pengaruh langsung aplikasi tersebut, sulit berpikir bila pak Menteri memiliki niatan untuk menutupnya, terlebih pada Twitter pula pak Menteri berinteraksi dengan banyak lapisan.

Meski kemudian membantah terkait wacana penutupan Twitter, pak Menteri memperlihatkan ancaman tidak langsung sekaligus mengingatkan akan kuasa blokir yang dimiliki oleh otoritas kewenangan negara.

Lalu bagaimana sebaiknya bersikap pada kasus seperti ini? Perlu berlaku bijak dalam konteks sebagai pejabat publik menghadapi gempuran sosial media. Sebaiknya, perhatikan dengan jelas aspirasi yang berkembang, jangan menutup mata apalagi sekedar menutup media yang menjadi counter bagi koreksi sosial atas ranah politik formal.

Evaluasi reflektif pemerintah atas panggung riuh sosial media, perlu dikedepankan dibandingkan pembungkaman, kita dapat belajar dari Revolusi Twitter pada Arab Spring.

Sumber foto: soaltescpns.info

Tidak ada komentar:

Posting Komentar