Dari seabrek aplikasi
sosial media, maka salah satu yang menonjol adalah Twitter, layanan
jejaring sosial yang diluncurkan sejak 2006 ini menjadi unik karena
keterbatasannya untuk menyampaikan pesan, hanya 140 karakter.
Space yang terbatas itu
justru menjadi daya tarik utamanya, kini Twitter si burung yang gemar
bercuit itu bertengger diperingkat 10 besar Alexa -sebuah situs yang
merating peringkat didunia maya.
Bukan hanya itu, pengguna
aktifnya sekitar 200juta, dengan 340 juta kicauan multibahasa
perhari, dengan taksiran pendapatan U$317juta pada 2013.
Ditanah air, pertumbuhan
pengguna sosial media Twitter mengalami pertumbuhan pesat, karena
aksesibilitas yang mudah terjadi melalui sebuah gadget smartphone.
Tidak hanya sebagai
ekspresi individu, kicauan di Twitter pun tidak urung menjadi sarana
ungkapan publik secara bersama dengan penggunaan tanda pagar
-hashtag.
Pesan yang berulang
-retweet menjadi sebuah rantaian dari percakapan untuk satu tematik
tertentu yang tidak henti dan meluas dibahas mewujud menjadi
-trending topic.
Khususnya ditanah air,
kita melihat penggunaan Twitter dalam segala aspek, termasuk wilayah
politik domestik, dan hal ini menjadi concern baru dari budaya melek
politik melalui sosial media.
Pada kasus terakhir,
fenomena yang terjadi ditanah air yang hangat dan kontemporer secara
aktual adalah menyangkut persepsi publik atas persetujuan RUU
Pilkada, yang memberikan ruang pemilihan Kepala Daerah dikembalikan
melalui DPRD, bukan lewat jalur pilihan langsung.
Bahkan, netizen
-panggilan bagi pengguna sosial media melakukan gerakan ber-hashtag
#ShameOnYouSBY sebagai bentuk ekspresi penolakan, dikarenakan partai
dibawah pimpinan SBY -selaku Ketua Partai dan Presiden, justru
melakukan WalkOut yang membuat kemenangan berada dikubu Pilkada tidak
langsung.
Cuitan mengenai topik
tersebut meluas dan menjadi pembicaraan didunia internasional, karena
posisinya berada diperingkat atas Trending Topic percakapan via
Twitter secara Global.
Revolusi Twitter
Aplikasi sosial media
yang dibatasi karakter dalam penyampaian pesan ini, memang telah
terbukti menjadi sarana berkumpulnya keriuhan publik.
Tidak hanya itu,
kebersamaan sudut pandang dalam satu aspek percakapan pun dapat
berakhir menjadi aktifitas fisik yang sensasional nan luar biasa.
Pengalaman negara Timur
Tengah membuktikan hal tersebut, Arab Spring pada 2011 yang menandai
perubahan tatanan sosial sebagai bentuk interaksi pesan melalui
sosiaal media yang menjangkau secara meluas penggunanya.
Kebangkitan dunia Arab,
dalam bentuk unjuk rasa dan rangkaian protes sebagai bentuk tantangan
atas bentuk pemerintahan diktator, ketimpangan ekonomi dan sosial
serta berbagai kondisi politik di Jazirah Arab yang sudah usang.
Revolusi terjadi dan
membesar, Twitter memainkan peran sebagai pencetus kebersamaan,
membangun komunikasi dan mengorganisir elemen kekuatan sipil untuk
melakukan gerakan perubahan.
Demonstrasi sipil itu
berujung pada pergantian kekuasaan dan menggoyang struktur politik
yang kaku, tercatat Tunisia merupakan negara awal tempat terjadinya
Revolusi via Twiiter, kemudian menyebar hingga ke Mesir, Libya,
Suriah, Yaman, Lebanon dan berbagai negara semenanjung Timur Tengah
lain.
Akun Pak Menteri
@tifsembiring
Pada hashtag
#ShameOnYouSBY yang menjadi pembicaraan publik, mencuat kicauan dari
Menteri Telekomunikasi dan Informasi -Tifatul Sembiring mengenai
penutupan social media Twitter.
“Beberapa negara spt
Turki, Arab Saudi, Mesir pernah menutup twitter. Indonesia belum
pernah menutup Twitter. Ada usulan?” @tifsembiring akun Twitter
pribadinya pada 28/9.
Menariknya, meski
berpotensi membangun persepsi akan penutupan Twitter, ternyata pak
Menteri pun sangat aktif ber-twitter.
Politisi PKS yang pernah
menjabat sebagai Ketua Partai periode 2005-2010 itu, tercatat
berkicau 26.6K, dengan mem-follow 2.137 dengan jumlah pengikut
sebanyak 812.5K.
Dari hasil evaluasi Klout
Score -aplikasi untuk melihat nilai pengaruh akun sosial media akan
dampak bagi orang lain, maka akun pak Menteri diberi angka 82, yang
terbilang tinggi dalam memberi influence.
Hal ini, dipengaruhi oleh
tidak hanyaa juah followers, repetisi pesan, jumlah pembicaraan pada
akun dan berbagai metriks pengukuran dampak akun social media serupa
Twitter pada lingkungan audiens.
Dalam cermatan pada akun
pak Menteri, terlihat jelas bahwa akun tersebut aktif ber-tweet,
mulai sejak pagi hingga kicauan akhir. Dimulai dengan sapaan pagi
yang memberikan efek refleksi dan motivasi hingga publikasi kegiatan
pribadi.
Tidak hanya itu, pemilik
akun pun responsif menjawab, termasuk berpantun, mungkin maklum saja
posisinya adalah Menteri Telekomunikasi dan Informasi.
Sebagai user aktif sosial
media Twitter, yang tentu memahami aspek pengaruh langsung aplikasi
tersebut, sulit berpikir bila pak Menteri memiliki niatan untuk
menutupnya, terlebih pada Twitter pula pak Menteri berinteraksi
dengan banyak lapisan.
Meski kemudian membantah
terkait wacana penutupan Twitter, pak Menteri memperlihatkan ancaman
tidak langsung sekaligus mengingatkan akan kuasa blokir yang dimiliki
oleh otoritas kewenangan negara.
Lalu bagaimana sebaiknya
bersikap pada kasus seperti ini? Perlu berlaku bijak dalam konteks
sebagai pejabat publik menghadapi gempuran sosial media. Sebaiknya,
perhatikan dengan jelas aspirasi yang berkembang, jangan menutup mata
apalagi sekedar menutup media yang menjadi counter bagi koreksi
sosial atas ranah politik formal.
Evaluasi reflektif
pemerintah atas panggung riuh sosial media, perlu dikedepankan
dibandingkan pembungkaman, kita dapat belajar dari Revolusi Twitter
pada Arab Spring.
Sumber foto:
soaltescpns.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar