Tentu saja konstruksi hukum yang
dipakai akan sangat rumit dan sulit dalam kasus penggelontoran dana talangan
untuk penyelamatan Bank Century Rp6.7T pada 2008 dan Rp1.2T dimedio 2013 saat
telah bernama Bank Mutiara.
Dalam hal ini Lembaga Penjamin
Simpanan menjadi pihak yang menangani Bank Century dari pencairan dana
talangan, kemudian berubah menjadi penyertaan modal, melakukan pergantian nama
menjadi Bank Mutiara, hingga pada akhirnya melakukan penjualan.
Sesuai mandat yang diberikan dan
setelah 5 tahun tidak terjual, maka kini LPS berhak melakukan penjualan dengan
harga terbaik. Nah, disini letak muasal persoalan itu bermula, statement
tentang harga terbaik memiliki ambigu dalam makna.
Setidaknya titik terang itu kembali
muncul setelah investor asal Jepang yakni J Trust Co, Ltd hampir dipastikan
menjadi pembeli bank yang pernah membikin kisruh ranah politik negeri ini dalam
drama berkepanjangan.
Bisa dipastikan, kondisi ini masih
akan tetap menimbulkan polemik dikemudian hari karena menjadi sebuah isu yang
bisa dieskalasi sebagai bagian dalam kepentingan politik, serta tidak dapat
ditebak kemana pangkal itu berakhir.
Bahkan untuk membentuk konsensus dan
menetapkan kejadian pada 2008 sebagai sebuah krisis yang berdampak sistemik
sekalipun masih menjadi point argumentatif nan debatable.
Terlebih kemudian, bila kita berkaca
dan melihat keberadaan kalah kliring bank sekelas Bank Century masih terbilang
jauh sebagai indikasi atas potensi kegagalan perbankan nasional, karena
persentase kapitalnya pada saat itu yang terbilang seujung kuku.
Secara politis kasus ini diangkat
kepermukaan karena sensitif menjadi komoditas, karena periodenya yang
berdekatan dengan masa Pemilu 2009, entah siapa yang berada dipihak kebenaran.
Tetapi memang percepatan proses
pengambilan keputusan untuk melakukan aksi bail-out Bank Century saat itu,
hingga perubahan angka yang besar dari awalnya diestimasi Rp632M menjadi Rp6.7T
dan ditambah lagi pada 2013 nampak membentuk sebuah relasi kejanggalan.
Kita sepakat bahwa kebijakan adalah
hasil dari keputusan yang disertai dengan dasar pertimbangan, dan asumsi
pijakan yang diambil harusnya faktual dan sesuai dengan apa yang sesungguhnya.
Penggunaan data secara tidak layak,
tentu mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan, dan disitu pula kita
harus membayar mahal serta menanggung beban atas kesalahan esensial tersebut.
Keputusan bisa salah atau benar,
karena hal itu tergantung situasi beserta sudut pandang, dan hal ini memang
menjadi wilayah abu-abu yang sulit diklaim dalam konteks kebenaran, tapi satu
yang absolut kita harus menelan pil pahit dalam-dalam dari resiko tersebut.
Kini J Trust Co Ltd menjadi
pemenang, meski harus melengkapi diri dalam proses fit and proper test. Masih
suram keterangan mengenai siapa J Trust Co Ltd, dan berapa besar nilai
pembelian Bank Mutiara, tetapi investor asal negeri matahari terbit ini pada
2013 telah membeli 10% saham Bank Mayapada sebesar Rp573M, sehingga bukan
merupakan pemain yang relatif baru.
Pada ranah politik, pasti masih akan
berlanjut diskusi dan ketegangan diseputar kerugian negara terkait Bank Century
dan Bank Mutiara tersebut, karena wilayah politiknya akan mendudukkan para
penguasa dimasanya sebagai pihak yang tersudutkan dan bersalah.
Belum lagi bila kita melihat aspek
keadilan hukum yang menetapkan pemilik Bank Century seperti Robert Tantular
dengan hukuman 19 tahun, dan beberapa buronan lain yang terkait dalam kejahatan
kerah putih dikasus ini yang belum ditangkap.
Pemiskinan dan penelusuran aset harta
kekayaan dari pemilik lama Bank Century harus dituntaskan demi nurani keadilan
publik, karena beban kerugian negara yang ditanggung renteng seluruh penduduk
negeri.
Sementara, pada aspek ekonomi, kita
bisa menyebut kondisi ini adalah biaya atas resiko krisis yang didefinisikan
sesuai dengan periode waktu kejadian berlangsung.
Polemik yang akan timbul kedepan
adalah, Kenapa Bank Mutiara jatuh ke tangan asing? Mengapa dirilis pada harga
yang rendah bila harganya dibawah patokan dasar Rp7.9T? Serta apakah penjualan
ini bisa diartikan sebagai penggantian kerugian negara dan menghentikan proses
hukumnya?.
Syak wasangka memang berkeliaran
disekitar siapa saja yang menikmati kemelut ini, posisi yang terang benderang
adalah para penjahat berkerah putih memang lihai menyusun data pembenaran agar
terlihat sebagai sebuah kebenaran.
Selain kita harus bertahan dengan
beban keuangan yang ditinggalkan, kita juga banyak belajar mengenai pilihan
kebijakan, pengelolaan sektor keuangan serta aspek monitoring maupun pengawasan
yang disertai dengan kerangka mitigasi resiko.
Pada kondisinya yang terakhir, maka
sebenarnya semua aspek terkait hendaknya memisahkan politik dan hukum sesuai
koridornya, terkecuali jika dapat dibuktikan melalui mekanisme hukum terdapat
keterlibatan pelaku maupun institusi politik didalamnya.
Dipenghujung akhir, maka hentikan
hingar bingar tak berkesudahan, karena hanya akan menimbulkan kegaduhan semata.
sumber foto: stabilitaskeuangan.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar