Inisiasi untuk membangun
tekad dalam memberantas kelaparan yang diawali oleh usulan FAO (Food
and Agriculture Organization) didukung oleh Indonesia. Kita tentu
sepakat bahwa kelaparan adalah bentuk ketidakmerdekaan, bahkan hal
ini terbilang mendasar karena pangan adalah kebutuhan fisik langsung
yang tidak dapat digantikan dalam menjaga kelangsungan kehidupan.
Tepat dinyatakan bahwa
akses yang terbatas dalam sumber pangan menyebabkan sebagian wilayah
mendapatkan keberlimpahan, sementara disi bagian yang lain terancam
akan kerawanan kelaparan. FAO sendiri menyatakan bahwa perlu upaya
membangun akses pangan yang memadai menuju sistem pangan
berkelanjutan yang mengurasi kerugian serta limbah pangan.
Lalu bagaimana komitmen
Indonesia itu bisa diterapkan secara aplikatif? Sayangnya tata kelola
pertanian kita lemah, bahwa cenderung tidak terorganisir secara
sistematik dengan baik. Hal ini tentu bisa dilihat dengan mudah, apa
antisipasi yang didorong melalui kementerian terkait guna mengatasi
dampak kemarau, yang kemudian secara langsung menyebabkan kekeringan
pada lahan pertanian?.
Belum lagi dinegeri
dengan penduduk 240 juta jiwa, kemerataan kemampuan konsumsi masih
terbilang timpang dan tidak merata. Hal itu kemudian berkorelasi
dengan indeks gizi dan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki
oleh suatu daerah. Swasembada adalah hal langka saat ini, kita tidak
mampu keluar dari jebakan ketergantuangan bahan pangan import yang
lebih mudah, murah dan memberikan keuntungan bagi para pihak yang
turut mengutip rente dipersoalan kebutuhan pokok tersebut.
Regulasi, infrastruktur,
edukasi dan insentif disektor pertanian masih terbilang minim. Hal
ini tentu memprihatinkan karena kita memiliki jumlahpenduduk
terbanyak yang harus dipenuhi urusan kantung perutnya, sehingga kita
tidak bisa bermain hanya dalam kata kosong yang hampa makna.
Jangan terlalu jauh
berbicara tentang kesinambungan pangan, ketika kita tidak mampu
memastikan besok pasokan pangan yang kita peroleh seperti apa? Bila
dukungan kali ini akan Zero Hunger hanya sebatas formalitas relasi
diplomasi semata, maka kita tentu akan terlihat heroik dalam menarik
simpati. Akan tetapi kita butuh lebih dari sekedar lip service
semata, karena persoalan ketahanan pangan adalah hal nyata yang kita
hadapi hari ini.
Saat indeks GINI -2014
dalam distribusi pendapatan terus bertambah menjadi 0.41 dan tumpukan
hutang pemerintah yang bertambah menjadi Rp2.531T, serta angka gizi
buruk sebanyak 4.5% atau sekitar 900ribu jiwa dari jumlah balita
Indonesia -data 2012, maka kita butuh aksi nyata sejak saat ini juga,
semoga pemerintahan baru mendengar bunyi perut publik yang menahan
lapar berkepanjangan.
Sumber foto:
ioanesrakhmat2009.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar