Banyak sudut pandang
dalam melihat Cost Recovery sebagai sebuah bagian dari klausul dalam
skema kontrak bagi hasil atau yang lebih kondang dikenal sebagai PSC
(Production Sharing Contract) pada industri hulu migas.
Secara general, komponen
Cost Recovery adalah penggantian biaya operasi yang diperoleh serta
diambil dari hasil penjualan atau dalam bentuk penyerahan lainnya.
Jadi kontraktor Migas yang beroperasi diwilayah Indonesia mendapatkan
jaminan tersebut sesuai ketentuan PSC.
Berdasarkan latar
belakangnya, point Cost Recovery muncul karena pemerintah tidak
memiliki modal yang cukup untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
Migas. Terhitung, dalam kerangka kbutuhan pendanaan, maka bisnis di
industri Migas membutuhkan dana mencapai triliunan rupiah.
Dalam hal tersebut, biaya
atas resiko menjadi tanggungan pihak kontraktor migas bila tidak
menghasilkan. Namun ketika tahap eksplorasi menjadi fase eksploitasi
dalam tinjauan skala ekonomis, maka mekanisme Cost Recovery menjadi
sebuah keharusan yang tidak terhindarkan sesuai dengan pasal
perjanjian yang telah dibuat tersebut.
Nah, masalahnya kemudian
beranjak pada persoalan, kepentingan pengawasan dana Cost Recovery,
seberapa ideal Cost Recovery itu dari penghasilan yang diperoleh,
bagaimana jenis biaya yang diatur? Lalu bagaimana langkah pengawasan
dibuat? Apa ada alat ukur dan sarana verifikasi dari besaran
investasi yang digelontorkan oleh kontraktor Migas tersebut?.
Problem lain yang timbul
adalah bahwa biaya Cost Recovery sering berjalan terbalik dari
lifting Migas yang diharapkan, alasan yang diajukan adalah biaya
teknologi, harus dilihat apakah memang volume potensial eksploitasi
masih cukup dalam kebutuhan produksi.
Perlu dipikirkan pula,
jangan-jangan memang sudah saatnya mencari sumur dan ladang baru
dibandingkan berkutat dengan ladang yang lama, terang saja volume
sedikit dengan biaya teknologi tinggi tentu hasilnya malah bisa
berbalik defisit.
Kondisi industri Migas
kita memang tampak semrawut, lifting yang lebih rendah dari konsumsi,
dikombinasi dengan usia sumur produksi yang sudah tua, plus kilang
pengolahan yang memasuki masa uzur memang menjadi kendala, yang
sayangnya tidak ditangani secara segera dan strategik, padahal Migas
adalah persoalan hajat hiup dan roda penggerak ekonomi negeri ini.
Cost Recovery akan selalu
menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan, tetapi yang harus
mampu menjadi pembelajaran bagi tata kelola Migas kita adalah
bagaimana kita kemudian menentukan kerangka strategis jangka panjang,
karena ketergantuangan yang mencapai tahap demanding pada kontraktor
asing tidak akan menumbuhkan kemandirian lokal.
Menjajaki kerjasama
secara partnership dengan kontraktor Migas dunia bukanlah sebuah
kesalahan, namun kita akan berada pada kondisi yang tidak berdaya
bila kita sendiri tidak siap dengan segudang kerangka evaluasi dan
monitoring yang ketat, termasuk mempersiapkan tenaga auditor yang
mewakili pemerintah secara kuat, baik dalam konteks pengetahuan dan
keimanan, untuk berhadapan dengan bisnis yang putaran dalam nilai
ekonomi jumbo.
Sudah saatnya, perbaikan
itu menjadi bagian yang menyeluruh, dibandingkan dengan menjadikan
celah Cost Recovery sebagai bancakan rejeki liar bagi sekelompok
orang yang tidak bertanggung jawab, karena kita berharap agar
industri Migas yang berkontribusi sekitar 25% dari pendapatan negara
dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh khalayan dibumi
Indonesia.
Sumber foto:
smallbusiness.chron.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar