Stabilitas politik
disuatu negara umumnya terkait dengan kerawanan dibidang ekonomi,
namun dinamika perubahan tidak dapat diendapkan barang sebentar. Hal
ini pula yang menyebabkan negara asal Jacky Chan itu dilanda unjuk
rasa besar sejak Jumat pekan lalu (26/9). Tidak tanggung peserta
aksi demonstrasi pun mencapai 80.00 orang turun kejalan.
Jumlah demonstran ini
terbilang fantastis dalam sebuah format organisasi massa yang tidak
terstruktur, bila dikomparasikan dengan jumlah penduduk Hongkong yang
hanya sekitar 6.88 juta dengan tingkat densitas (kerapatan penduduk)
yang 6.254/km² terlebih luas wilayahnya pun hanya 1.103 km2
saja.
Pada kasus aksi politik
di Hongkong ini kita melihat konteks ekonomi ternyata tidak
berkorelasi langsung dengan minimnya partisipasi politik untuk
berdemokrasi. Sepanjang sejarahnya, hongkong merupakan negara
administratif khusus, diserahkan dari koloni Britania Raya ke
Tiongkok pada 1997.
Negeri ini menjadi
kekuatan urutan nomor ke-30 Dunia (2003) dengan total PDB U$157
miliar, dengan pendapatan perkapita mencapai U$23.592, yang masuk
dalam kategori negara maju versi Bank Dunia dan digolongkan sebagai
salah satu negara Macan Asia. Dimana berlaku kebijakan otonomi,
dengan kepemimpinan yang dilakukan melalui Ketua eksekutif.
Hal tersebut kemudian
diberi batas waktu oleh Tiongkok, targetnya selama 50 tahun sejak
diterima dari Inggris Raya. Namun, janji Tiongkok untuk melakukan
pemilihan langsung pad 2017 kemudian dikoreksi, dengan syarat bahwa
calon pemimpin yang maju nantinya, harus melalui seleksi ketat serta
direstui oleh Kolektif Tiongkok.
Kini gelora reformasi
melanda generasi muda Hongkong, yang merasa bahwa hak memilih dalam
kebebasan berdemokrasinya telah ditelikung. Termasuk ketidak setujuan
mereka bila pemimpin yang nantinya dihasilkan melalui proses tersebut
nantinya, hanya akan melahirkan permimpin yang menjadi loyalis
Tiongkok semata.
Pelajar dan mahasiswa di
Hongkong menjadi motor gerakan kesadaran berpolitik, dan sekali lagi
sosial media menjadi sarana yang efektif dalam mengembangkan
pemikiran termasuk dalam melakukan pengumuman dan pengorganisasian
bagi kepentingan pernyataan politik yakni berdemonstrasi.
Kerusuhan melanda negeri
yang telah sejahtera itu, ekspesi dan kebebasan berpendapat tidak
dapat diberangus, hak pemilih secara indivivu lekat sebagai hak azasi
manusia sepanjang hidup, dan hal itu menjadi bagian dari masa depan
yang tidak dapat diperwakilkan. Entah akan menjadi seperti apa
nantinya hasil gerakan politik di Hongkong tersebut memecah kebuntuan
politik dari Tiongkok, kita perlu melihat hasilnya kemudian.
Tetapi sama seperti kasus
di Hongkong, kita kini justru berbalik arah dari demokrasi
partisipatif menjadi demokrasi perwakilan yang menghilangkan kuasa
hak individu pada segelintir orang yang berlumur kekuasaan didalam
partai politik, padahal negeri ini masih jauh dari kata sejahtera.
Keresahan yang sama pun terdengar hingga seberang lautan.
Sumber foto:
international.sindonews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar