Senin, 29 September 2014

Bahkan Macan Asia pun Butuh Demokrasi Langsung: Studi Kasus Hongkong

Stabilitas politik disuatu negara umumnya terkait dengan kerawanan dibidang ekonomi, namun dinamika perubahan tidak dapat diendapkan barang sebentar. Hal ini pula yang menyebabkan negara asal Jacky Chan itu dilanda unjuk rasa besar sejak Jumat pekan lalu (26/9). Tidak tanggung peserta aksi demonstrasi pun mencapai 80.00 orang turun kejalan.

Jumlah demonstran ini terbilang fantastis dalam sebuah format organisasi massa yang tidak terstruktur, bila dikomparasikan dengan jumlah penduduk Hongkong yang hanya sekitar 6.88 juta dengan tingkat densitas (kerapatan penduduk) yang 6.254/km² terlebih luas wilayahnya pun hanya 1.103 km2 saja.

Pada kasus aksi politik di Hongkong ini kita melihat konteks ekonomi ternyata tidak berkorelasi langsung dengan minimnya partisipasi politik untuk berdemokrasi. Sepanjang sejarahnya, hongkong merupakan negara administratif khusus, diserahkan dari koloni Britania Raya ke Tiongkok pada 1997.

Negeri ini menjadi kekuatan urutan nomor ke-30 Dunia (2003) dengan total PDB U$157 miliar, dengan pendapatan perkapita mencapai U$23.592, yang masuk dalam kategori negara maju versi Bank Dunia dan digolongkan sebagai salah satu negara Macan Asia. Dimana berlaku kebijakan otonomi, dengan kepemimpinan yang dilakukan melalui Ketua eksekutif.

Hal tersebut kemudian diberi batas waktu oleh Tiongkok, targetnya selama 50 tahun sejak diterima dari Inggris Raya. Namun, janji Tiongkok untuk melakukan pemilihan langsung pad 2017 kemudian dikoreksi, dengan syarat bahwa calon pemimpin yang maju nantinya, harus melalui seleksi ketat serta direstui oleh Kolektif Tiongkok.

Kini gelora reformasi melanda generasi muda Hongkong, yang merasa bahwa hak memilih dalam kebebasan berdemokrasinya telah ditelikung. Termasuk ketidak setujuan mereka bila pemimpin yang nantinya dihasilkan melalui proses tersebut nantinya, hanya akan melahirkan permimpin yang menjadi loyalis Tiongkok semata.

Pelajar dan mahasiswa di Hongkong menjadi motor gerakan kesadaran berpolitik, dan sekali lagi sosial media menjadi sarana yang efektif dalam mengembangkan pemikiran termasuk dalam melakukan pengumuman dan pengorganisasian bagi kepentingan pernyataan politik yakni berdemonstrasi.

Kerusuhan melanda negeri yang telah sejahtera itu, ekspesi dan kebebasan berpendapat tidak dapat diberangus, hak pemilih secara indivivu lekat sebagai hak azasi manusia sepanjang hidup, dan hal itu menjadi bagian dari masa depan yang tidak dapat diperwakilkan. Entah akan menjadi seperti apa nantinya hasil gerakan politik di Hongkong tersebut memecah kebuntuan politik dari Tiongkok, kita perlu melihat hasilnya kemudian.

Tetapi sama seperti kasus di Hongkong, kita kini justru berbalik arah dari demokrasi partisipatif menjadi demokrasi perwakilan yang menghilangkan kuasa hak individu pada segelintir orang yang berlumur kekuasaan didalam partai politik, padahal negeri ini masih jauh dari kata sejahtera. Keresahan yang sama pun terdengar hingga seberang lautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar