Terpaku kita dan terbelalak atas hasil temuan BPS yang diolah Kementerian Perdagangan, maka
diketahuilah bahwa ikan asin buknlah makanan kelas bawah nan rendah,
si ikan asin telah naik level menjadi barang langka nan mewah
layaknya santapan para bangsawan.
Meski
sebagai negara kepulauan dengan luas lautan yang mengepung seluruh
sisi negeri, namun kita tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan
asupan pangan hasil kelautan berjenis ikan asin itu, sehingga sekali
lagi import perlu dilakukan karena mulut domestik ini sudah lengket
dengan rasa asin si ikan asin.
Tercatat
pada 2009, import si kecil yang enak disantap dengan sambal dan nasi
hangat itu, terlebih ditambah dengan sayur asem, memiliki nilai impor
US$ 515.752 dengan berat 119.380 kg, meski terus mengalami penurunan,
namun kita memang masih bisa mandiri.
Terakhir,
pada 2014 nilai import ikan asin periode Januari-Juli mencapai US$
53.229 dengan berat 1.242 kg lalu darimana pasokan itu didapat?
Ternyata jarak importasenya pun tidak main-main, Inggris menyuplai
ikan asin senilai US$ 39.806 dan berat 800 kg.
Sesudah negeri Ratu Elizabeth itu, Singapura bertengger sebagai negara kedua yang mengekspor ikan asin ke Indonesia senilai US$ 2.372. Berturut kemudian Jepang dan Hongkong. Ternyata menu makanan yang dipersepsikan rendah itu, pun bermain ikan bule via transfer import.
Katakanlah bahwa alasan utama yang disebut adalah karena jenis ikan yang diproduksi dalam kasus importase adalah jenis yang berbeda, sehingga wajib didatangkan dengan jalus import. Tentu kita perlu dengan jelas, apa benar ada bahan ikan asin bercita rasa luar negeri itu, dilisting daftar menu restoran berbintang lima.
Kalaupun
kemudian ada, pertanyaannya, apakah rasanya jadi tidak asin kalau
musti diimport dari negeri yang jauh dari seberang lautan? Padahal
kalau sekedar ikan teri jengki saja, negeri ini kaya akan potensi
kelautan yang tidak tergarap secara maksimal bahkan terbengkalai.
Banyak
lapisan muda enggan menjadi nelayan, karena mencari ikan bukan jadi
mata pencaharian pilihan. Apalagi harus bertaruh nyawa ketika ombak
datang, ditambah pilu dengan seret-nya bantuan pemerintah,
terlebih harga solar yang semakin hari bertambah tidak seimbang
dengan hasil tangkapan.
Padahal,
potensi kelautan yang besar itu justru menjadi incaran para nelayan
asing. Kegiatan illegal fishing menjadi bagian dari kalahnya sistem
pengawasan kita akan pencurian kekayaan maritim negeri ini. Tidak kah
kita juga sangsi, negeri Singa nan sejumput bisa menjadi penyuplai
kebutuhan ikan asin bagi kita, sementara sumberdaya kelautan sangat
minim mereka miliki.
Sesungguhnya
pada ikan asin import kita menimba kearifan, bahwa kekayaan alamiah
yang terlimpah bukanlah hal yang menguntungkan bila kita tidak mampu
melakukan pengelolaan secara ilmiah. Kapal nelayan dan teknik tangkap
yang minim teknologi jelas kalah kelas dibandingkan nelayan Inggris.
Untuk
kondisi tersebut peran dan bantuan dari Departemen terkait perlu
dimajukan, bukan dalam persoalan anggaran yang kosong, tetapi pada
program yang nyata memajukan nelayan dinegri bahari yang kering
terkena terik matahari, karena perahu kecilnya kehabisan solar yang
sayangnya harus diimport juga dari negeri seberang. Owh.. celaka 13x
rupanya.
Sumber
foto: latitudes.nu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar