Rabu, 24 September 2014

Ikan ASIN, si Ikan IMPORT

Terpaku kita dan terbelalak atas hasil temuan BPS yang diolah Kementerian Perdagangan, maka diketahuilah bahwa ikan asin buknlah makanan kelas bawah nan rendah, si ikan asin telah naik level menjadi barang langka nan mewah layaknya santapan para bangsawan.

Meski sebagai negara kepulauan dengan luas lautan yang mengepung seluruh sisi negeri, namun kita tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan asupan pangan hasil kelautan berjenis ikan asin itu, sehingga sekali lagi import perlu dilakukan karena mulut domestik ini sudah lengket dengan rasa asin si ikan asin.

Tercatat pada 2009, import si kecil yang enak disantap dengan sambal dan nasi hangat itu, terlebih ditambah dengan sayur asem, memiliki nilai impor US$ 515.752 dengan berat 119.380 kg, meski terus mengalami penurunan, namun kita memang masih bisa mandiri.

Terakhir, pada 2014 nilai import ikan asin periode Januari-Juli mencapai US$ 53.229 dengan berat 1.242 kg lalu darimana pasokan itu didapat? Ternyata jarak importasenya pun tidak main-main, Inggris menyuplai ikan asin senilai US$ 39.806 dan berat 800 kg.

Sesudah negeri Ratu Elizabeth itu, Singapura bertengger sebagai negara kedua yang mengekspor ikan asin ke Indonesia senilai US$ 2.372. Berturut kemudian Jepang dan Hongkong. Ternyata menu makanan yang dipersepsikan rendah itu, pun bermain ikan bule via transfer import.

Katakanlah bahwa alasan utama yang disebut adalah karena jenis ikan yang diproduksi dalam kasus importase adalah jenis yang berbeda, sehingga wajib didatangkan dengan jalus import. Tentu kita perlu dengan jelas, apa benar ada bahan ikan asin bercita rasa luar negeri itu, dilisting daftar menu restoran berbintang lima.

Kalaupun kemudian ada, pertanyaannya, apakah rasanya jadi tidak asin kalau musti diimport dari negeri yang jauh dari seberang lautan? Padahal kalau sekedar ikan teri jengki saja, negeri ini kaya akan potensi kelautan yang tidak tergarap secara maksimal bahkan terbengkalai.

Banyak lapisan muda enggan menjadi nelayan, karena mencari ikan bukan jadi mata pencaharian pilihan. Apalagi harus bertaruh nyawa ketika ombak datang, ditambah pilu dengan seret-nya bantuan pemerintah, terlebih harga solar yang semakin hari bertambah tidak seimbang dengan hasil tangkapan.

Padahal, potensi kelautan yang besar itu justru menjadi incaran para nelayan asing. Kegiatan illegal fishing menjadi bagian dari kalahnya sistem pengawasan kita akan pencurian kekayaan maritim negeri ini. Tidak kah kita juga sangsi, negeri Singa nan sejumput bisa menjadi penyuplai kebutuhan ikan asin bagi kita, sementara sumberdaya kelautan sangat minim mereka miliki.

Sesungguhnya pada ikan asin import kita menimba kearifan, bahwa kekayaan alamiah yang terlimpah bukanlah hal yang menguntungkan bila kita tidak mampu melakukan pengelolaan secara ilmiah. Kapal nelayan dan teknik tangkap yang minim teknologi jelas kalah kelas dibandingkan nelayan Inggris.

Untuk kondisi tersebut peran dan bantuan dari Departemen terkait perlu dimajukan, bukan dalam persoalan anggaran yang kosong, tetapi pada program yang nyata memajukan nelayan dinegri bahari yang kering terkena terik matahari, karena perahu kecilnya kehabisan solar yang sayangnya harus diimport juga dari negeri seberang. Owh.. celaka 13x rupanya.

Sumber foto: latitudes.nu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar