Butiran putih nan kecil
itu harusnya terasa manis, ya namanya gula, tetapi pahit getir itu
rasanya bagi semua pihak yang tergantung dari komoditas ini, mungkin
hanya pedagang perantara nan culas saja yang dapat menangguk untung
besar atas selisih kebutuhan gula nasional.
Sebenarnya, tebu sebagai
bahan baku gula merupakan tetumbuhan yang pernah ditanam secara
monokultur oleh Belanda pada abad ke-17, sayangnya sejak mencapai
posisi tertinggi pada 1930-an dengan jumlah 179 pabrik pengolahan
gula, kini sejak 1967 Indonesia menjadi importer ke 3 terbesar dunia,
dibawah Uni Eropa, Amerika Serikat dengan serapan 6% sekitar 2.8 juta
ton.
Masalahnya, kemampuan
domestic dalam memenuhi kebutuhan gula nasional hanya berkisar
2.5juta ton dengan agregat konsumsi gula nasional berada diangka 5
juta ton, sehingga sisa selisih tersebut ditutup dengan menggunakan
mekanisme import, dan dalam posisi ini kita jauh tertinggal dari
negeri gajah putih Thailand.
Negeri Siam ini
memproduksi lebih dari 10.6 juta ton pertahun dengan hasil rendemen
diangka 11.82% sedangkan di Indonesia berada diposisi 7%, dan 8 juta
ton gula produksi Thailand menjadi andalan eksport dengan 30%
diantaranya masuk ke pasar Indonesia yang memiliki total populasi 240
juta jiwa.
Banyak hal yang belum
optimal dilakukan ditanah air, bahkan termasuk dalam masalah tata
niaga gula. Untuk hal tersebut kita perlu melakukan pemetaan secara
utuh melihat konteks hulu-hilir bisnis gula, mulai dari petani tebu,
pabrik pengolahan, teknologi proses hingga penjualan komoditas gula
dari Sabang sampai Merauke karena gula menjadi kebutuhan pokok.
Mulai dari cuaca,
produktifitas tanam, hingga kualitas panen tebu hingga teknologi
using dalam pengolahan dan pabrik tebu membuat kita menjadi tidak
berdaya, dan bersikap sebagai pembeli dengan kapasitas tamping yang
besar. Termasuk soal kekacauan dalam tata niaga yang melakukan
pemisahan dari aspek pengawasan perdagangan.
Secara umum, produk gula
dibagi menjadi gula konsumsi dan gula rafinasi dimana untuk jenis
yang terakhir dipasok melalui jalur import dan dipergunakan bagi
kepentingan industry, karena kebutuhan ditingkat industry dalam
negeri terbilang besar. Sayang yang tidak diperhatikan adalah aspek
pengawasan dan penegakan hokum, karena seringkali gula rafinasi
justru rembes dipasar tradisional dan konsumsi langsung.
Hal ini kemudian yang
menimbulkan fluktuasi harga gula dipasaran, harga produksi local
tidak mampu bersaing dengan produk import terlebih kualitas produksi
yang dihasilkan dinilai lebih baik dalam konteks mutu, lebih putih
dan lebih bersih karena teknisnya sesungguhnya memang berbeda dengan
pola produksi yang dilakukan didalam negeri.
Petani menjerit karena
ongkos produksi yang melejit karena pupuk justru tidak dijadikan
sebagai bagian dari insentif tanam, terlebih banjirnya pasokan gula
rafinasi yang segaja dibocorkan membuat produk local menjadi tidak
laku, hingga kemudian harus terpaksa menanggung kondisi merugi dalam
posisi menjual dibawah harga dasar produksinya karena ketiadaan
aturan tegas.
Perlu dukungan dari
pemangku kebijakan untuk melindungi sector industry gula nasional,
termasuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri karena produk
tersebut adalah tanaman tebu merupakan vegetasi asli yang sudah ada
dinegeri ini. Support untuk penciptaan ruang tanam dan lahan area
perkebunan tebu yang baru, perbaikan pola tanam, insentif pupun serta
revitalisasi sekitar 62 Pabrik Gula yang sudah berada diusia senja
pun perlu dilakukan.
Pahit rasanya, karena
Bulog yang ditunjuk sebagai badan yang mengatur pola supply bahan
pokok sekalipun dikalahkan oleh para pemain perantara yang
memanfaatkan lemahnya penegakan hukuman. Kita tentu berharap, bangsa
ini mampu perdikari dan daulat atas kebutuhan pokoknya, membentuk
ketahanan pangan yang sesungguhnya bisa dan dapat dilakukan bila kita
sendiri bersungguh-sungguh menguatkan pengetahuan, riset dan
penelitian budidaya tebu.
Peran instansi terkait
menjadi penting untuk disinggung, termasuk Departemen Pertanian,
Departemen Perdagangan dan Bulog sebagai lembaga penyangga, agar
petani tebu dapat menjadi sejahtera, bangsa kita berdaya secara basis
sumbedaya pangan dan kita sebagai sebuah bangsa tidak lagi sekedar
duduk sebagai konsumen yang menikmati teh pahit karena ketiadaan
gula.
Sumber foto:
www.anneahira.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar