Rabu, 17 September 2014

Pahit Bisnis Tata Niaga Gula

Butiran putih nan kecil itu harusnya terasa manis, ya namanya gula, tetapi pahit getir itu rasanya bagi semua pihak yang tergantung dari komoditas ini, mungkin hanya pedagang perantara nan culas saja yang dapat menangguk untung besar atas selisih kebutuhan gula nasional.

Sebenarnya, tebu sebagai bahan baku gula merupakan tetumbuhan yang pernah ditanam secara monokultur oleh Belanda pada abad ke-17, sayangnya sejak mencapai posisi tertinggi pada 1930-an dengan jumlah 179 pabrik pengolahan gula, kini sejak 1967 Indonesia menjadi importer ke 3 terbesar dunia, dibawah Uni Eropa, Amerika Serikat dengan serapan 6% sekitar 2.8 juta ton.

Masalahnya, kemampuan domestic dalam memenuhi kebutuhan gula nasional hanya berkisar 2.5juta ton dengan agregat konsumsi gula nasional berada diangka 5 juta ton, sehingga sisa selisih tersebut ditutup dengan menggunakan mekanisme import, dan dalam posisi ini kita jauh tertinggal dari negeri gajah putih Thailand.

Negeri Siam ini memproduksi lebih dari 10.6 juta ton pertahun dengan hasil rendemen diangka 11.82% sedangkan di Indonesia berada diposisi 7%, dan 8 juta ton gula produksi Thailand menjadi andalan eksport dengan 30% diantaranya masuk ke pasar Indonesia yang memiliki total populasi 240 juta jiwa.

Banyak hal yang belum optimal dilakukan ditanah air, bahkan termasuk dalam masalah tata niaga gula. Untuk hal tersebut kita perlu melakukan pemetaan secara utuh melihat konteks hulu-hilir bisnis gula, mulai dari petani tebu, pabrik pengolahan, teknologi proses hingga penjualan komoditas gula dari Sabang sampai Merauke karena gula menjadi kebutuhan pokok.

Mulai dari cuaca, produktifitas tanam, hingga kualitas panen tebu hingga teknologi using dalam pengolahan dan pabrik tebu membuat kita menjadi tidak berdaya, dan bersikap sebagai pembeli dengan kapasitas tamping yang besar. Termasuk soal kekacauan dalam tata niaga yang melakukan pemisahan dari aspek pengawasan perdagangan.

Secara umum, produk gula dibagi menjadi gula konsumsi dan gula rafinasi dimana untuk jenis yang terakhir dipasok melalui jalur import dan dipergunakan bagi kepentingan industry, karena kebutuhan ditingkat industry dalam negeri terbilang besar. Sayang yang tidak diperhatikan adalah aspek pengawasan dan penegakan hokum, karena seringkali gula rafinasi justru rembes dipasar tradisional dan konsumsi langsung.

Hal ini kemudian yang menimbulkan fluktuasi harga gula dipasaran, harga produksi local tidak mampu bersaing dengan produk import terlebih kualitas produksi yang dihasilkan dinilai lebih baik dalam konteks mutu, lebih putih dan lebih bersih karena teknisnya sesungguhnya memang berbeda dengan pola produksi yang dilakukan didalam negeri.

Petani menjerit karena ongkos produksi yang melejit karena pupuk justru tidak dijadikan sebagai bagian dari insentif tanam, terlebih banjirnya pasokan gula rafinasi yang segaja dibocorkan membuat produk local menjadi tidak laku, hingga kemudian harus terpaksa menanggung kondisi merugi dalam posisi menjual dibawah harga dasar produksinya karena ketiadaan aturan tegas.

Perlu dukungan dari pemangku kebijakan untuk melindungi sector industry gula nasional, termasuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri karena produk tersebut adalah tanaman tebu merupakan vegetasi asli yang sudah ada dinegeri ini. Support untuk penciptaan ruang tanam dan lahan area perkebunan tebu yang baru, perbaikan pola tanam, insentif pupun serta revitalisasi sekitar 62 Pabrik Gula yang sudah berada diusia senja pun perlu dilakukan.

Pahit rasanya, karena Bulog yang ditunjuk sebagai badan yang mengatur pola supply bahan pokok sekalipun dikalahkan oleh para pemain perantara yang memanfaatkan lemahnya penegakan hukuman. Kita tentu berharap, bangsa ini mampu perdikari dan daulat atas kebutuhan pokoknya, membentuk ketahanan pangan yang sesungguhnya bisa dan dapat dilakukan bila kita sendiri bersungguh-sungguh menguatkan pengetahuan, riset dan penelitian budidaya tebu.

Peran instansi terkait menjadi penting untuk disinggung, termasuk Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Bulog sebagai lembaga penyangga, agar petani tebu dapat menjadi sejahtera, bangsa kita berdaya secara basis sumbedaya pangan dan kita sebagai sebuah bangsa tidak lagi sekedar duduk sebagai konsumen yang menikmati teh pahit karena ketiadaan gula.

Sumber foto: www.anneahira.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar