Mafia itu dapat diketahui
dampaknya, tetapi sulit untuk diidentifikasi bentuknya, karena sistem
operasinya yang tertutup dan terselubung, pun termasuk disektor
perminyakan.
Tetapi, dibandingkan
menuding soal mafia, akan lebih baik kita berfokus pada hal konkrit
yang lebih mendasar untuk melakukan perbaikan tata kelola minyak bumi
didalam negeri.
Pertamina sebagai sebuah
institusi yang diberi kewenangan dalam pengelolaan tersebut, memiliki
portofolio sektor hulu-hilir yang timpang, dengan proporsi 30% hulu
dan 70% hilir.
Dengan kondisi tersebut,
Pertamina memang bergantung dari mandatory distribusi BBM sebagai
aktifitas yang menggenerate pendapatannya, namun disisi lain, disini
pula lemahnya kapasitas industri hulu migas kita.
Proses pencarian,
eksplorasi hingga eksploitasi adalah hal utama dalam produksi minyak,
bila kemudian jumlah sumur ladang minyak tidak bertambah, jangan
pernah berharap defisit kebutuhan dari produksi minyak dalam negeri
bisa terpenuhi.
Terlebih, bila
konsentrasi Pertamina hanya diarahkan untuk distribusi semata, maka
skill kemampuan dan keahlian teknis didunia perminyakan semakin tidak
terasah dan tidak teruji.
Bisa jadi pula Pertamina
berada diposisi Comfort Zone yang steady, sehingga susah untuk #move
on karena dengan berbisnis disektor hilir maka kita tengah berbicara
tentang bisnis jangka pendek dan siklus yang cepat, berbeda dengan
sektor hulu yang konservatif dan berorientasi menengah-panjang.
Kalau selama ini bermain
disektor hilir sekalipun, Pertamina masih compang-camping dengan
perilaku tercela yang dimanfaatkan oleh para mafia, dengan mengambil
untung dicelah distribusi.
Maka pada sektor hulu
kita belum bisa beranjak dari kepungan nama besar perusahaan minyak
dilevel internasional yang mendapat konsesi mengeksploitasi emas
hitam dari perut Pertiwi. Salah satu andil besarnya adalah membiarkan
Pertamina hanya bermain diranah akhir, sehingga tidak menempatkan
Pertamina sebagai pelaku strategis disektor hulu, meski masih
bersifat dominan monopoli disektor hilir.
Kalau sudah begini, kita
sebaiknya mulai melakukan re-format tata kelola industri minyak dalam
negeri bila tidak mau tersandera dengan kenaikan harga minyak dunia
yang membuat keresahan ditingkat bawah.
Kemauan untuk mandiri dan
tidak bergantung, harus menjadi tantangan bagi Pertamina, agar tidak
sibuk dengan sektor hilir semata, tetapi juga menemukan sumur-sumur
baru.
Setidaknya kita bisa
secara proporsional mendorong porsi 50 : 50 sebagai sasaran awal
mengubah konsepsi bisnis hulu-hilir Pertamina, agar potensi minyak
didalam perut bumi, dapat lebih banyak memberi manfaat bagi penduduk
negeri.
Sumber foto:
beritaagam.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar