Berbeda dalam riuh rendah pembahasan
RUU Pilkada, maka RUU Pemerintahan Daerah berlangsung dalam rapat nan senyap,
bahkan terbilang sepi, dengan jumlah anggota dewan yang terlibat kurang dari
100 orang.
Padahal, RUU Pemda adalah paket
bundling RUU Pilkada. Bila kemudian pada aspek substantif RUU pilkada menyoal
tentang mekanisme dalam pola pemilihan kepala daerah.
Maka pada RUU Pemda, dibahas tentang
evaluasi pemekaran daerah bernama otonomi, termasuk rangkap jabatan politik
dari posisi kepala daerah.
Pada pembahasan terakhir, terkait
RUU Pemda, semua fraksi partai politik sepakat untuk menghilangkan klausul
tentang larangan Kepala Daerah yang bertindak sebagai ketua Partai.
Inkonsistensi memang perwujudan
lumrah partai politik, karena ranah politik adalah masalah kepentingan praktis
menuju kekuasaan, dan pada RUU Pemda hal itu terbaca jelas.
Pukulan telak atas demokrasi
mengkandaskan harapan terpilihnya pemimpin untuk rakyat, karena paket RUU
Pilkada dan RUU Pemda menempatkan kuasa partai politik kembali superior
dibandingkan dengan rakyat yang diwakilinya.
Dalam kerangka konstruksi yang
saling berkaitan, bisa dibayangkan bila pemimpin partai politik, memiliki
kemampuan lobby politik, menjadi kandidat calon kepala daerah yang kemudian
dipilih melalui format pemilihan via DPRD.
Konsesi politik dan pola bagi
kekuasaan dengan pendekatan ala negosiasi bisnis mengacu pada besaran nominal
tentu tidak sulit untuk ditebak sebagai konklusinya.
Berdasarkan data Dirjen Otda,
setidaknya terdapat 3.000 wakil rakyat yang tersandung kasus korupsi selama
periode 2009-2014, dengan jumlah kasus kepala daerah sebanyak 290, bisa
dibayangkan betapa buruknya wajah pemerintahan negeri ini.
RUU Pilkada dan RUU Pemda sejatinya
diharapkan menjadi sarana demokratis bagi kepentingan serta kemaslahatan
publik, jika pemimpin kemudian dipilih secara langsung, tentu kita berharap
siapa pun yang terpilih akan meninggalkan jubah politik untuk menjadi pemimpin
bagi seluruh masyarakat diatas segelintir kelompok atau golongan, serta menjadi
figur pemimpin perekat yang mempersatukan semua lapisan.
Jika pemilihan dilakukan pada ruang
rapat dewan legislatif daerah dan tetap menjadi instrumen partai politik bahkan
ketua partai, maka politik yang terjadi hanya ditingkat elit, tidak
mengherankan bila kepala daerah akan lebih banyak blusukan ke ruang dewan
dibanding turun ke masyarakat.
Sayangnya, pada pembahasan RUU Pemda
kita melihat konsistensi aspirasi publik melalui partai politik hanya sebatas
konsumsi kamera layar kaca.
Jauh dari gemuruh publikasi, maka
demokrasi telah dikubur dalam-dalam oleh semua partai politik secara berjamaah.
Turut berduka cita.
Sumber foto: acehterkini.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar