Pada pentas percaturan
politik, maka orientasi yang dibangun adalah kekuasaan, memenangkan
perang dengan tidak menggunakan senjata adalah cara yang dilakukan
dalam ilmu politik, licin seperti belut dan cerdik tak ubahnya kancil
menghindari perangkap buaya.
Sebagian kalngan menyebut
politik adalah seni dalam memenangkan pertarungan kepentingan, oleh
karena itu tidak ada yang abadi, bahkan kawan sperjalanan pun bisa
berubah menjadi lawan ketika berbeda dalam selisih kepentingan. Jadi
jangan tanya soal konsistensi, karena kelenturan dan fleksibilitas
yang adaptif adalah cara bertahan hidup dalam dunia politik.
Plin-plan? Tentu bukan,
karena konsistensi yang dipegang teguh adalah komitmen untuk berlaku
tidak konsisten karena soal kepentingan yang dibawa sebagai aspirasi.
Politik bisa juga menjadi seni pengatasnamaan, dan hal itu nyatanya
memang kerap selalu terjadi.
Bagaimana kemudian kita
melihat amar sebuah keputusan yang diambil dalam sebuah voting
politik? Maka pada ranah tersebut kita mengenal istilah kalkulasi
politik, bagaimana politik dihitung dalam representasi suara
mayoritas sebagai perwakilan umum dalam konsensus.
Abstain sebenarnya adalah
akomodai dari hak memilih untuk tidak memilih, sehingga menjadi opsi
terakhir manakala dibuat beberapa usulan pada sebuah mekanisme
pemungutan suara. Disamping itu, ada pula walkout, aksi keluar
gelanggang ini menjadi sarana bagi ekspresi ketidaksetujuan akan
pembahasan hal yang dilakukan dalam sebuah sidang rapat.
Lalu apa kontribusi
abstain dan walkout dalam sidang yang mengangkat isu besar secara
nasional? Keduanya menjadi alat politik sekaligus instrumen yang
dipergunakan untuk menaikkan posisi tawar dalam negosiasi kekuasaan.
Dalam hal ini, partai politik akan mempergunakan kedua opsi dalam
pilihan voting manakala memiliki benturan kepentingan dalam agenda
yang diusungnya.
Secara kalkulatif, maka
peluang kalah menang dalam pengambilan keputusan bisa sangat
bergantung dari pilihan yang terakhir, ketika kekuatan politik
terpolarisasi secara sama kuat, maka penentunya adalah mandat yang
tidak dipergunakan, baik dalam bentuk abstain maupun walkout itu
tadi.
Publik dalam hal ini,
ketika demokrasi semakin matang dalam proses demokratisasi,
sesungguhnya memiliki peran untuk menjadi pengawas dan korektor bagi
aspirasi partai politik yang berbeda dari kehendak umum, problemnya
memang hanya sebatas watch dog yang menjadi silent
majority, tetapi ketika aras pilihan politik pada arena politik
formal berbeda dari realitas masyarakat, percayalah suara publik itu
akan mencari sumber dalam kanal dan saluran aspirasi politik dalam
berbagai bentuk.
Sesuai dengan hukum
kekekalan energi yang menyatakan bahwa energi tidak bisa dihilangkan,
melainkan bertransformasi dan berubah dari wujud asal menjadi bentuk
lain yang berbeda, dan dalam hal tersebut, energi politik potensial
dapat saja mewujud menjadi sebuah gerakan politik aktual dikemudian
hari, bisa jadi...
Sumber foto:
www.rancahpost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar