Kamis, 25 September 2014

Abstain, Walkout dan Kalkulasi Politik

Pada pentas percaturan politik, maka orientasi yang dibangun adalah kekuasaan, memenangkan perang dengan tidak menggunakan senjata adalah cara yang dilakukan dalam ilmu politik, licin seperti belut dan cerdik tak ubahnya kancil menghindari perangkap buaya.

Sebagian kalngan menyebut politik adalah seni dalam memenangkan pertarungan kepentingan, oleh karena itu tidak ada yang abadi, bahkan kawan sperjalanan pun bisa berubah menjadi lawan ketika berbeda dalam selisih kepentingan. Jadi jangan tanya soal konsistensi, karena kelenturan dan fleksibilitas yang adaptif adalah cara bertahan hidup dalam dunia politik.

Plin-plan? Tentu bukan, karena konsistensi yang dipegang teguh adalah komitmen untuk berlaku tidak konsisten karena soal kepentingan yang dibawa sebagai aspirasi. Politik bisa juga menjadi seni pengatasnamaan, dan hal itu nyatanya memang kerap selalu terjadi.

Bagaimana kemudian kita melihat amar sebuah keputusan yang diambil dalam sebuah voting politik? Maka pada ranah tersebut kita mengenal istilah kalkulasi politik, bagaimana politik dihitung dalam representasi suara mayoritas sebagai perwakilan umum dalam konsensus.

Abstain sebenarnya adalah akomodai dari hak memilih untuk tidak memilih, sehingga menjadi opsi terakhir manakala dibuat beberapa usulan pada sebuah mekanisme pemungutan suara. Disamping itu, ada pula walkout, aksi keluar gelanggang ini menjadi sarana bagi ekspresi ketidaksetujuan akan pembahasan hal yang dilakukan dalam sebuah sidang rapat.

Lalu apa kontribusi abstain dan walkout dalam sidang yang mengangkat isu besar secara nasional? Keduanya menjadi alat politik sekaligus instrumen yang dipergunakan untuk menaikkan posisi tawar dalam negosiasi kekuasaan. Dalam hal ini, partai politik akan mempergunakan kedua opsi dalam pilihan voting manakala memiliki benturan kepentingan dalam agenda yang diusungnya.

Secara kalkulatif, maka peluang kalah menang dalam pengambilan keputusan bisa sangat bergantung dari pilihan yang terakhir, ketika kekuatan politik terpolarisasi secara sama kuat, maka penentunya adalah mandat yang tidak dipergunakan, baik dalam bentuk abstain maupun walkout itu tadi.

Publik dalam hal ini, ketika demokrasi semakin matang dalam proses demokratisasi, sesungguhnya memiliki peran untuk menjadi pengawas dan korektor bagi aspirasi partai politik yang berbeda dari kehendak umum, problemnya memang hanya sebatas watch dog yang menjadi silent majority, tetapi ketika aras pilihan politik pada arena politik formal berbeda dari realitas masyarakat, percayalah suara publik itu akan mencari sumber dalam kanal dan saluran aspirasi politik dalam berbagai bentuk.

Sesuai dengan hukum kekekalan energi yang menyatakan bahwa energi tidak bisa dihilangkan, melainkan bertransformasi dan berubah dari wujud asal menjadi bentuk lain yang berbeda, dan dalam hal tersebut, energi politik potensial dapat saja mewujud menjadi sebuah gerakan politik aktual dikemudian hari, bisa jadi...

Sumber foto: www.rancahpost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar