Minggu, 14 September 2014

Saat Import melanda Dapur Kita, Kemana Konsep Ketahanan Pangan?



Sulit untuk dapat dibayangkan, apa jadinya negara dengan luas lahan yang melimpah ini tidak mampu terbebas dari ketergantungan bahan baku dari luar negeri. Benar bahwa kita memang akan saling terkait secara internasional karena kompetensi dan keunggulan yang dimiliki secara spesifik atas setiap negara.

Namun sebagaimana terungkap, negeri zamrud kathulistiwa ini adalah mutiara yang memberikan ruang yang cukup bagi sector pertanian untuk tumbuh dan berkembang, khususnya pada aspek ketersediaan lahan kelolaan yang dapat dikonversi menjadi area pertanian produktif bagi kebutuhan konsumsi domestic.

Sayangnya, hal tersebut kerap kali diabaikan dan dipinggirkan, sehingga gagasan tentang ketahanan pangan merupakan ide hampa tanpa pernah memasuki kondisi realita. Bayangkan saja, bahkan untuk kebutuhan primer yang mendasar yang menjadi elemen fungsi dari ketahanan pangan, kita masih menjadi negara pengimport bumbu dapur.

Tengok data berikut, pasokan lada diimpor sebesar 1.025 ton atau US$ 7,5 juta dimana lokasi negara penyuplai terbesar adalah Vietnam dengan bobot 1.007 ton atau setara US$ 7,4 juta. Selain itu, garam pun masih perlu untuk didatangkan dari luar negeri, selama periode bulan Juli, impornya sebesar 102,4 ribu ton atau senilai US$ 5,2 juta, dengan negara asalnya adalah Australia sejumlah 93,4 ribu ton atau US$ 4,4 juta.

Belum lagi soal bawang putih, total volume import Juli mencapai 59,8 ribu ton atau US$ 42,1 juta berasal dari Tiongkok dengan 59,6 ribu ton atau US$ 41,9 juta, tidak lupa pula untuk kebutuhan impor bawang merah sebesar 981,4 ton atau US$ 485 ribu.dengan negara sumber dari Vietnam sebesar 100 ton atau US$ 50 ribu.

Terakhir bahan cabai pun masih perlu disokong oleh jalur importase baik dalam bentuk segar dingin, kering tumbuk dan awet sementara, dimana didapatkan cabai kering tumbuk diimpor pada Juli sebesar 1.221 ton atau US$ 1,7 juta. Paling besar dari India 978 ton atau US$ 1,3 juta,sedangkan cabai awet sementara diimpor 279,3 ton atau US$ 300 ribu yang berasal dari Thailand 140 ton atau US$ 133.400, sedangkan cabai segar dingin sebesar 14,7 ton atau US$ 24.963 berasal dari Vietnam.

Luas lahan yang berlimpah, iklim tropis yang memungkinkan durasi musim tanam bias dilakukan sepanjang waktu, harusnya dapat dijadikan modalitas yang kuat dalam membangun sector pertanian, terlebih hal ini telah dikelompokkan menjadi sebuah badan kementerian yang berada dalam struktur kabinet pemerintahan.

Patut dicatat, departemen pertanian justru muncul dengan berbagai highlight yang tidak sedap, mafia daging hingga mafia bibit benih menjadi tontonan yang memperlihatkan bahwa sector ini belum digarap serius sebagai hal strategis dan terpenting bagi negara ini, bayangkan apa jadinya sebuah negara menggantungkan kebutuhan perutnya dari negara lain secara totalitas? Tentu sangat ironis bukan.

Apa yang dapat dilakukan, tentu pemerintah perlu membuat sebuah roadmap dan perencanaan dalam kerangka yang besar, terkait pola konsumsi dan kemampuan kita dalam memenuhinya, khususnya pada sector pertanian. Didalamnya ditentukan skema pembangunan kapasitas pertanian dan perkebunan, mulai dari zonasi, waktu tanam hingga waktu panen dan proses distribusi.

Dalam hal ini Pemerintah melalui instrument kebijakan dan departemen terkait memberikan bantuan penyulusan teknis, pemberian insentif tanam seperti pupuk dan bibit serta alat pertanian yang aplikatif dapat dipergunakan hingga nantinya mendukungproses distribusi dari sentra penghasil ke pasar konsumsi local karena fungsinya adalah pemenuhan pangan secara swasembada untuk kebutuhan domestic.

Jaminan kepastian dalam dukungan yang terbaik, dimana pemerintah membangun sarana infrastruktur dan lembaga pembiayaan pedesaan tentu menjadi sebuah angina segar dalam menggairahkan kembali sector pertanian kita, bila tidak, maka entah apa jadinya?

Jangan pernah berharap rendang yang termasuk makanan lezat tingkat dunia itu menjadi kebanggaan nasional, karena semua komponen bahan bakunya sesungguhnya telah memperlihatkan makanan ini telah menjadi symbol buruknya tata kelola pertanian kita.

sumber foto: tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar