Sulit
untuk dapat dibayangkan, apa jadinya negara dengan luas lahan yang melimpah ini
tidak mampu terbebas dari ketergantungan bahan baku dari luar negeri. Benar
bahwa kita memang akan saling terkait secara internasional karena kompetensi
dan keunggulan yang dimiliki secara spesifik atas setiap negara.
Namun
sebagaimana terungkap, negeri zamrud kathulistiwa ini adalah mutiara yang
memberikan ruang yang cukup bagi sector pertanian untuk tumbuh dan berkembang,
khususnya pada aspek ketersediaan lahan kelolaan yang dapat dikonversi menjadi
area pertanian produktif bagi kebutuhan konsumsi domestic.
Sayangnya,
hal tersebut kerap kali diabaikan dan dipinggirkan, sehingga gagasan tentang
ketahanan pangan merupakan ide hampa tanpa pernah memasuki kondisi realita.
Bayangkan saja, bahkan untuk kebutuhan primer yang mendasar yang menjadi elemen
fungsi dari ketahanan pangan, kita masih menjadi negara pengimport bumbu dapur.
Tengok
data berikut, pasokan lada diimpor sebesar 1.025 ton atau US$ 7,5 juta dimana
lokasi negara penyuplai terbesar adalah Vietnam dengan bobot 1.007 ton atau setara
US$ 7,4 juta. Selain itu, garam pun masih perlu untuk didatangkan dari luar
negeri, selama periode bulan Juli, impornya sebesar 102,4 ribu ton atau senilai
US$ 5,2 juta, dengan negara asalnya adalah Australia sejumlah 93,4 ribu ton
atau US$ 4,4 juta.
Belum
lagi soal bawang putih, total volume import Juli mencapai 59,8 ribu ton atau
US$ 42,1 juta berasal dari Tiongkok dengan 59,6 ribu ton atau US$ 41,9 juta,
tidak lupa pula untuk kebutuhan impor bawang merah sebesar 981,4 ton atau US$
485 ribu.dengan negara sumber dari Vietnam sebesar 100 ton atau US$ 50 ribu.
Terakhir
bahan cabai pun masih perlu disokong oleh jalur importase baik dalam bentuk
segar dingin, kering tumbuk dan awet sementara, dimana didapatkan cabai kering
tumbuk diimpor pada Juli sebesar 1.221 ton atau US$ 1,7 juta. Paling besar dari
India 978 ton atau US$ 1,3 juta,sedangkan cabai awet sementara diimpor 279,3
ton atau US$ 300 ribu yang berasal dari Thailand 140 ton atau US$ 133.400,
sedangkan cabai segar dingin sebesar 14,7 ton atau US$ 24.963 berasal dari
Vietnam.
Luas
lahan yang berlimpah, iklim tropis yang memungkinkan durasi musim tanam bias dilakukan
sepanjang waktu, harusnya dapat dijadikan modalitas yang kuat dalam membangun sector
pertanian, terlebih hal ini telah dikelompokkan menjadi sebuah badan
kementerian yang berada dalam struktur kabinet pemerintahan.
Patut
dicatat, departemen pertanian justru muncul dengan berbagai highlight yang
tidak sedap, mafia daging hingga mafia bibit benih menjadi tontonan yang
memperlihatkan bahwa sector ini belum digarap serius sebagai hal strategis dan
terpenting bagi negara ini, bayangkan apa jadinya sebuah negara menggantungkan
kebutuhan perutnya dari negara lain secara totalitas? Tentu sangat ironis
bukan.
Apa
yang dapat dilakukan, tentu pemerintah perlu membuat sebuah roadmap dan
perencanaan dalam kerangka yang besar, terkait pola konsumsi dan kemampuan kita
dalam memenuhinya, khususnya pada sector pertanian. Didalamnya ditentukan skema
pembangunan kapasitas pertanian dan perkebunan, mulai dari zonasi, waktu tanam
hingga waktu panen dan proses distribusi.
Dalam
hal ini Pemerintah melalui instrument kebijakan dan departemen terkait memberikan
bantuan penyulusan teknis, pemberian insentif tanam seperti pupuk dan bibit
serta alat pertanian yang aplikatif dapat dipergunakan hingga nantinya
mendukungproses distribusi dari sentra penghasil ke pasar konsumsi local karena
fungsinya adalah pemenuhan pangan secara swasembada untuk kebutuhan domestic.
Jaminan
kepastian dalam dukungan yang terbaik, dimana pemerintah membangun sarana
infrastruktur dan lembaga pembiayaan pedesaan tentu menjadi sebuah angina segar
dalam menggairahkan kembali sector pertanian kita, bila tidak, maka entah apa
jadinya?
Jangan
pernah berharap rendang yang termasuk makanan lezat tingkat dunia itu menjadi
kebanggaan nasional, karena semua komponen bahan bakunya sesungguhnya telah
memperlihatkan makanan ini telah menjadi symbol buruknya tata kelola pertanian
kita.
sumber foto: tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar