Kabinet pemerintahan
Jokowi dihadapkan pada persoalan ruang fiskal yang terbatas,
setidaknya hal tersebut menjadi dalih bagi upaya penghapusan beban
subsidi energi dalam hal ini BBM guna menjadi modalitas pemerintah
dalam kepentingan sektor pembangunan.
Masih ada peluang untuk
segera melakukan evaluasi atas perubahan APBN 2015, pun ketika
diasumsikan opsi pesimistis terjadi dengan kondisi tidak terdapat
celah bagi pengajuan revisi APBN, maka pemerintahan baru dituntut
untuk membentuk strategi nan lugas serta cerdas.
Bila berkaca dalam asumsi
makro APBN 2015, angka yang dipatok memang terbilang optimistis
dengan laju pertumbuhan diangka 5.6 % dengan inflasi yang bertengger
di 4.4% serta indikasi nilai kurs berada di Rp11.900/ U$ dollar,
ditambah dengan asumsi harga minyak dunia di U$105/ barel.
Pemerintah baru dengan
spirit yang berbeda dan semangat pembaharu, harus mampu
mendefinisikan situasi ini sebagai sebuah tantangan ketimbang
kesulitan, karena masih ada peluang dibalik semua skenario.
Hal terpenting yang
dimiliki pemerintah kali ini adalah basis kepercayaan dan dukungan
rakyat, sehingga kondisi tersulit sekalipun yang menjadi signifikan
adalah kemampuan berkomunikasi pemerintah kepada masyarakat mengenai
dasar asumsi kebijakan yang diambil dengan fokus pada orientasi besar
kepentingan publik.
Jika diasumsikan
pendapatan negara ada diposisi Rp1.762T berbanding kebutuhan
berbelanja yang Rp2.019T maka defisit anggaran diangka Rp257.5T atau
sekitar 2.32% dari PDB, maka hal yang harus dilakukan adalah
efisiensi dan efektifitas budget.
Kalau pendapatan sudah
dapat dipastikan, maka kehendak belanja perlu dibatasi agar tidak
besar pasak daripada tiang. Jika sudah demikian, prioritas dalam
kebutuhan perlu diidentifikasikan sesuai dengan capaian tujuan yang
dibutuhkan bagi kepentingan masyarakat luas.
Prinsip utamanya adalah
sebisa mungkin tidak menambah beban hutang yang akan diwariskan
kepada para generasi penerus dimasa mendatang.
Kebutuhan dan bukan
keinginan adalah hal yang harus dipisahkan secara tegas, sehingga
dapat terjadi efektifitas penggunaan anggaran.
Tengok saja belanja
kementerian dan lembaga yang Rp600T, dimana serapan ini akan
terkonsentrasi pada belanja operasional rutin biaya pegawai dan
berbagai agenda kegiatan, maka sekali lagi nafas penghematan
dilakukan dengan mengetatkan ikat pinggang.
Fokus pada prioritas
kerja lebih baik dipergunakan dari sekedar rapat studi banding dan
lokakarya yang lebih banyak menghabiskan sumberdaya waktu maupun
biaya.
Kemudian transfer ke
daerah yang ada sekitar Rp630T harus dipergunakan untuk kepentingan
pengembangan daerah secara tepat guna dalam membangun kondisi
perekonomian daerah tersebut.
Pada aspek subsidi energi
dan subsidi energi yang Rp433T itu, harus bisa dirangkum apa yang
perlu dilaksanakan secara bijak, kenaikan harga BBM yang nampak tidak
terelakkan harus dibarengi dengan pemberian contoh keteladanan dalam
kesederhanaan yang memberikan pengayoman bagi seluruh masyarakat.
Pemimpin negara dan
jajarannya, pada fase yang ketat secara ekonomi, perlu tampil kemuka
dengan tidak berjarak sebagai bentuk komunikasi publik yang sinkron
dengan aspirasi masyarakat yang sudah pasti terbebani dengan semua
kebijakan kenaikan harga tersebut.
Langkah tidak populer
memang tidak bisa dihindarkan, tapi pil pahit itu harus mampu
diyakinkan kepada masyarakat adalah sebuah langkah yang terbaik bagi
perbaikan dan kesembuhan bangsa yang sakit secara penganggaran ini,
dan untuk itu faktor keteladanan menjadi penting.
Disisi lain, anggaran
pendidikan yang Rp404T diutamakan bagi peningkatan akses publik akan
pendidikan bermutu hingga sekolah tinggi yang mendorong terciptanya
lapisan sumberdaya manusia yang berkualitas dimasa mendatang, untuk
sektor ini evaluasi menjadi penting karena sasaran ukuran dilihat
dari strategi jangka panjang pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Alokasi pos belanja lain
yang sampai Rp191T itu, harus bisa dipastikan pengajuan peruntukan
penggunaan hingga pertanggungjawabannya, sehingga tidak dijadikan
sebagai lumbung para pemburu rente yang berlindung diranah kekuasaan
politik.
Keterlambatan pembangunan
infrastruktur nasional harus dapat dioptimalisasi dengan pos sebesar
Rp169T, proyek dibawah alokasi budget ini harus dipastikan tepat
dalam implementasi pelaksanaan, karena seringkali disinyalir bila
proyek fisik pemerintah anggaran realisasi meruap hingga 50-60% dari
budget yang disediakan.
Dengan infrastruktur yang
semakin baik, tentu diharapkan pertumbuhan arus barang, jasa dan
modal akan berjalan dengan baik, sehingga dapat membantu stimulasi
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pada pos yang minor
berkaitan dengan kewajiban pembayaran hutang sebesar Rp134T, harus
dapat dinegosiasikan pada para Kreditur agar terdapat interest cut
atau scheduling dan restrukturisasi hutang, dimana hal itu akan
membantu kelonggaran arus kas bagi pemerintah.
Dibagian tersisa postur
anggaran, menempatkan pertahanan Rp94T dan transfer ke desa Rp9T maka
yang terpenting adalah penempatan kerangka kerja sesuai dengan
kepentingan atas kebutuhan nan urgent, karena terbatasnya anggaran
tersedia.
Akhirnya, apakah
pemerintah mampu? Akan menjadi heroik bila Jokowi-JK menyatakan
sanggup tanpa harus melakukan revisi APBN 2015 dengan memberikan
contoh suri tauladan penghematan, agar bangsa ini mampu mulai
berbenah dalam penggunaan anggaran sesuai kebutuhan dan bukan
keinginan semata.
sumber foto: www.jakpro.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar