Sabtu, 06 September 2014

RFID Bagaimana Kabarnya?

Alternatif dalam kerangka pembatasan kuota subsidi BBM yang diambil pemerintah diambil dalam berbagai bentuk langkah kebijakan, salah satu hal yang kemudian muncul diakhir periode lalu melakukan penjatahan jumlah kuota distribusi BBM bersubsidi yang menimbulkan dampak kelangkaan serta antrian panjang diberbagai SPBU.
 
Menarik bila kemudian kita mereview berbagai opsi pilihan yang pernah berbiak sebagai langkah dalam pengendalian BBM bersubsidi sebelumnya.
 
Dengan asumsi bahwa kuota BBM bersubsidi tahun ini yang mencapai 46juta KL dan akan habis pada November 2014, tentu evaluasi atas berbagai proyek sebelumnya perlu ditampilkan kemuka sebagai upaya final atas ikhtiar menambal kebocoran anggaran atas perlakuan subsidi BBM.
 
Salah satu yang menarik adalah kerangka implementasi Radio Frequency Indentification (RFID) sebagai sarana sistem monitoring dan pengendalian secara nasional atas alokasi pemakaian BBM bersubsidi.
 
Pertamina dalam hal ini menjadi pemilik proyek implementasi pembatasan BBM menggunakan RFID dengan menunjuk PT INTI sebagai kontraktor pelaksana.

Hingga quater ke-III 2014, belum tampak hasil yang terlihat dari Implementasi RFID sesuai dengan target awal dalam kerangka monitoring dan pengendalian BBM bersubsidi.
 
Terlebih, tidak pula diketahui sejauh mana keberlanjutan proyek RFID secara berkesinambungan, setelah periode riuh rendah pemasangan alat. RFID pada medio akhir tahun 2013.
 
Secara kebijakan, alasan rasional dari keberadaan RFID sesungguhnya memberikan ilustrasi yang cukup mumpuni untuk mencegah over kuota BBM bersubsidi, namun aplikasi dalam penjabaran dan pelaksanaan terhenti karena berbagai bauran kebijakan terkait yang tidak sinkron.
 
Tengok kasus keputusan untuk menjalankan kebijakan mobil murah berjuluk Low Cost Green Car (LCGC), yang justru menambah jumlah pengguna BBM bersubsidi.
 
Estimasi penjualan otomotif tahun 2014 akan berada dikisaran 1.25 juta mobil dan 8 juta kendaraan roda dua, sehingga secara potensial sudah pasti menambah volume aktual konsumsi BBM.
 
Belum lagi bila dikalkulasi efek dari kemacetan disektor transportasi yang semakin memperburuk senjang kuota stok BBM bersubsidi dengan kebutuhan terpakai.
 
Kemacetan merupakan indikasi dalam konteks rendahnya kualitas infrastruktur, yang tidak bisa dipungkiri menjadi problem kekal selama struktur kebijakan ditingkat makro nasional belum berorientasi ke perbaikan sektor infrastruktur tersebut.
 
Disamping itu, secara teknis operasional keberadaan proyek RFID nampak dilaksanakan secara tergesa tanpa evaluasi mendalam.
 
Belum teridentifikasi bagaimana perlakuan terhadap unit kendaraan baru? Penanganan terhadap unit kendaraan lama? Skema pelaksanaan secara teknologi? Kemudian format bentuk dari monitoring dan pengendalian yang diharapkan terjadi? Bagaimana perlakuan bila kemudian kondisi dalam skema pesimis over kuota konsumsi BBM bersubsidi aktual terjadi?.
 
Hal terpenting dan strategis yang sesungguhnya signifikan serta vital dalam penerapan RFID adalah kebijakan pemerintah memandang persoalan anggaran dalam kuota  BBM bersubsidi itu sendiri.
 
Apakah tetap akan mempertahankan kuota subsidi dimasa mendatang? Atau kemudian akan membebaskan pada harga keekonomian sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran pasar? Karena bila sudah hal tersebut ditentukan, maka keberadaan RFID akan menemukan asumsi keberadaannya yang mendasar.
 
Kalau kemudian pemerintah lalu membiarkan mekanisme pasar menentukan harga BBM, maka kita boleh menamakan proyek RFID kali ini adalah pekerjaan mubazir nan tersia-sia.
Sumber foto: republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar