Waspada
Tumpukan Hutang
Meski
posisi hutang dalam prinsip keuangan dapat menjadi leverage, yakni
sarana daya ungkit guna mendongkrak pendapatan yang berkorelasi
positif secara finansial, namun pengelolaan hutang harus dilakukan
secara cermat dan sistematik dalam mencegah lilitan hutang.
Secara
mendasar, hutang adalah fasilitas pinjaman keuangan yang dapat
dipergunakan untuk kembali mendapatkan uang bila dipergunakan dalam
kepentingan produktif, sehingga dengan demikian, imbal hasil usaha
dari keberadaan hutang tersebut dapat menutup kewajiban yang timbul
atas fasilitas pinjaman hutang.
Ketika
kita berbicara tentang hutang kolektif sebagai sebuah negara, maka
kewajiban yang dibebankan sebagai tanggungjawab dalam pengembalian
hutang akan menjadi bersifat prorata terhadap seluruh elemen bangsa
ini, bukan hanya pemerintah semata, oleh karena itu karena pemerintah
menjadi personifikasi atas persetujuan pinjaman, maka perlu untuk
memperhatikan kondisi hutang atas keuangan negara.
Menjadi
besar dari hutang bisa saja terjadi, namun ibarat memelihara anak
harimau yang nampak lucu kala masih kecil, maka hutang yang besar dan
tidak terkendali layaknya harimau dewasa yang sedang kelaparan
mencari mangsa yang bisa diterkam setiap saat.
Posisi
Hutang Kita
Meski
pemerintah dapat melakukan penekanan porsi jumlah hutang dari waktu
ke waktu, namun jumlah kumulatif hutang memang terbilang besar.
Terhitung pada Agustus 2014, nilai hutang kita sebesar Rp 2.601,72
triliun atau sebesar 26,5% atas PDB, hal ini jelas mengalami
penurunan dalam aspek persentase atas PDB dari pinjaman ditahun 2004
yang mencapai Rp 1.299,5 triliun (57%).
Dengan
menggunakan pendekatan per-PDB Indonesia yang sebesar Rp 9.804
triliun, maka proporsi hutang memang menjadi hanya 26.5%, namun dalam
angka nominal nilainya lebih dari 2 kali lipat nilai pada tahun 2004,
dan ini harus diwaspadai karena kondisi hutang pemerintah tentu
mengikuti pola pembayaran hutang yang telah disepakati.
Terlebih,
pada hutang dengan basis mata uang asing, yang mudah sekali
bergejolak bersamaan dengan nilai tukar rupiah atas valuta asing.
Setidaknya kita paham, bahwa hutang harus dipergunakan sebaik mungkin
bagi kebutuhan produktif, sehingga pemerintah memiliki kapasitas
pembayaran kembali atas pengambilan hutang tersebut.
Defisit
anggaran yang kemudian ditambal dengan mekanisme berhutang, harus
dapat dipastikan bahwa total penggunaan atas kumulatif anggaran
tersebut diarahkan pada belanja modal dan bukan belanja rutin yang
bersifat operasional, karena konsumsi belanja modal akan membuat
pemerintah memiliki kemampuan dalam melakukan pembayaran bunga dan
pokok hutang.
Turunan
dari total pinjaman kita terdiri dari multivarian, dengan uraian atas
rincian perolehan pinjaman pemerintah posisi September 2014 adalah
(1) Bilateral: Rp 355,76 triliun (2) Multilateral: Rp 279,97 triliun
(3) Komersial: Rp 45,27 triliun (4) Supplier: Rp 260 miliar dan (5)
Pinjaman dalam negeri: Rp 2,54 triliun.
Jumlah
utang luar negeri pemerintah Indonesia terus menurun, dan digantikan
dalam bentuk surat utang (obligasi), esensinya tetap sama kita
melakukan pembangunan yang ditopang dengan tumpukan hutang yang hanya
mengenal prinsip untung atas nilai bunga, tanpa perlu mengetahui
apakah kita sedang dalam kondisi krisis maupun tidak.
Sehingga
dengan demikian, kita perlu bijaksana memandang hutang sebagai asupan
pembangunan, terlebih ketika berhadapan dengan investor. Negara
kreditur jelas memiliki kepercayaan yang besar, dan hal tersebut
adalah sebuah apresiasi atas kapasitas ekonomi domestik, tetapi
dilain pihak kita perlu berhitung dengan cermat agar lilitan hutang
tidak mencekik leher, sehingga kita sulit bernafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar