Selasa, 21 Oktober 2014

Waspada Tumpukan Hutang

Waspada Tumpukan Hutang

Meski posisi hutang dalam prinsip keuangan dapat menjadi leverage, yakni sarana daya ungkit guna mendongkrak pendapatan yang berkorelasi positif secara finansial, namun pengelolaan hutang harus dilakukan secara cermat dan sistematik dalam mencegah lilitan hutang.

Secara mendasar, hutang adalah fasilitas pinjaman keuangan yang dapat dipergunakan untuk kembali mendapatkan uang bila dipergunakan dalam kepentingan produktif, sehingga dengan demikian, imbal hasil usaha dari keberadaan hutang tersebut dapat menutup kewajiban yang timbul atas fasilitas pinjaman hutang.

Ketika kita berbicara tentang hutang kolektif sebagai sebuah negara, maka kewajiban yang dibebankan sebagai tanggungjawab dalam pengembalian hutang akan menjadi bersifat prorata terhadap seluruh elemen bangsa ini, bukan hanya pemerintah semata, oleh karena itu karena pemerintah menjadi personifikasi atas persetujuan pinjaman, maka perlu untuk memperhatikan kondisi hutang atas keuangan negara.

Menjadi besar dari hutang bisa saja terjadi, namun ibarat memelihara anak harimau yang nampak lucu kala masih kecil, maka hutang yang besar dan tidak terkendali layaknya harimau dewasa yang sedang kelaparan mencari mangsa yang bisa diterkam setiap saat.

Posisi Hutang Kita

Meski pemerintah dapat melakukan penekanan porsi jumlah hutang dari waktu ke waktu, namun jumlah kumulatif hutang memang terbilang besar. Terhitung pada Agustus 2014, nilai hutang kita sebesar Rp 2.601,72 triliun atau sebesar 26,5% atas PDB, hal ini jelas mengalami penurunan dalam aspek persentase atas PDB dari pinjaman ditahun 2004 yang mencapai Rp 1.299,5 triliun (57%).

Dengan menggunakan pendekatan per-PDB Indonesia yang sebesar Rp 9.804 triliun, maka proporsi hutang memang menjadi hanya 26.5%, namun dalam angka nominal nilainya lebih dari 2 kali lipat nilai pada tahun 2004, dan ini harus diwaspadai karena kondisi hutang pemerintah tentu mengikuti pola pembayaran hutang yang telah disepakati.

Terlebih, pada hutang dengan basis mata uang asing, yang mudah sekali bergejolak bersamaan dengan nilai tukar rupiah atas valuta asing. Setidaknya kita paham, bahwa hutang harus dipergunakan sebaik mungkin bagi kebutuhan produktif, sehingga pemerintah memiliki kapasitas pembayaran kembali atas pengambilan hutang tersebut.

Defisit anggaran yang kemudian ditambal dengan mekanisme berhutang, harus dapat dipastikan bahwa total penggunaan atas kumulatif anggaran tersebut diarahkan pada belanja modal dan bukan belanja rutin yang bersifat operasional, karena konsumsi belanja modal akan membuat pemerintah memiliki kemampuan dalam melakukan pembayaran bunga dan pokok hutang.

Turunan dari total pinjaman kita terdiri dari multivarian, dengan uraian atas rincian perolehan pinjaman pemerintah posisi September 2014 adalah (1) Bilateral: Rp 355,76 triliun (2) Multilateral: Rp 279,97 triliun (3) Komersial: Rp 45,27 triliun (4) Supplier: Rp 260 miliar dan (5) Pinjaman dalam negeri: Rp 2,54 triliun.

Jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia terus menurun, dan digantikan dalam bentuk surat utang (obligasi), esensinya tetap sama kita melakukan pembangunan yang ditopang dengan tumpukan hutang yang hanya mengenal prinsip untung atas nilai bunga, tanpa perlu mengetahui apakah kita sedang dalam kondisi krisis maupun tidak.

Sehingga dengan demikian, kita perlu bijaksana memandang hutang sebagai asupan pembangunan, terlebih ketika berhadapan dengan investor. Negara kreditur jelas memiliki kepercayaan yang besar, dan hal tersebut adalah sebuah apresiasi atas kapasitas ekonomi domestik, tetapi dilain pihak kita perlu berhitung dengan cermat agar lilitan hutang tidak mencekik leher, sehingga kita sulit bernafas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar