Dasar asumsi ketimpangan
kemampuan dalam akses permodalan dan teknologi memang membuat
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 250juta jiwa ini menjadi
sasaran empuk sebagai konsumen bagi berbagai produk asing.
Celakanya, kemudian
kemampuan mandiri tidak juga tumbuh berkembang, sehingga kita tetap
pada posisi sebagai objek pasif dan tidak bergeser sebagai subjek
pelaku nan aktif. Sebagian kalangan menempatkan logika Investment
follow the Trade sebagai konsekuensi logis dari posisi kita yang
menjadi konsumen ditahap awal, untuk kemudian bertransformasi menjadi
produsen kemudian.
Menarik untuk kemudian
mencermati pernyataan Wakil Ketua Umum Bidang Koordinator Asosiasi,
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Noke Kiroyan menilai
tidak ada salahnya Indonesia menjadi pasar dalam perdagangan regional
dan global. Pasalnya, dengan menjadi pasar, lambat laun investasi pun
akan berdatangan.
Pada konferensi pers
Trade Expo Indonesia ke-29, Rabu (8/10/2014) Noke mengatakan,
investasi dan perdagangan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
"Investment follow the trade, itu adalah rumus di dalam dunia
internasional, yang berlaku juga bagi Indonesia. Jadi, tidak ada
salahnya Indonesia menjadi pasar”.
Kasus yang digadang
menjadi premis dari hipotesa tersebut adalah industri otomotif yang
kemudian menempatkan Indonesia dari negara yang tadinya hanya menjadi
lokasi perakitan assembling menjadi pengeskport Completely Build
Up (CBU) dengan pendapatan U$ 4.5miliar ditahun ini.
Pada posisi yang sama,
bila kita menggunakan dasar pemikiran serupa, sesungguhnya kita akan
keliru memaknai alih teknologi dan alih investasi sebagai kewajiban
pengembangan industri lokal. Benar kita mengekspor mobil sebagai
sebuah kemampuan, namun produk tersebut masih mewakili brand
import.
Jadi, kalau kita terlena
akan pasar yang besar dan berbondong investor datang kedalam negeri,
sehingga kita tidak mampu membangun kemandirian industri dan terus
didikte oleh kepentingan investor asing, maka sebenarnya kita sadar
bila telah terjebak dalam pola penjajahan modern.
Pasar yang besar harus
dibarengi dengan insentif bagi inisiatif lokal dalam menguatkan
industri nasional, ketergantungan kerap menjadi sandungan dalam
membangun kekuatan mandiri. Ketika pasar terbuka, globalisasi
memungkinkan free flow good, services, people and modals maka
tidak terdapat keharusan untuk berinvestasi apapun, terlebih ketika
bangsa ini hanya dijadikan sebagai kepentingan konsumtif, “you
just a number for me” dalam logika sang industrialis mewakili
investor asing.
Pada era pasar bebas
seperti saat ini, maka jangan pernah berharap kepada pihak lain,
bangun kemandirian sehingga kita digdaya diatas kemampuan diri kita
sendiri. Berdikari dan berdaulat adalah dignity bagi bangsa
yang besar dalam kuantitas tetapi masih harus terus berjuang
menguatkan kapasitas kualitas kenegaraan sebagai sebuah entitas
bersama.
Sumber foto:
www.isabeltrader.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar