Sebagai upaya membuka
kotak pandora dan berpikir diluar kelaziman yang ada, maka apa yang
telah menjadi target dari BUMN Perum Perhutani yang akan menjadi
holding dibidang industri kehutanan untuk mengejar pendapatan dari
hasil industri kehutanan non kayu tentulah sebuah inovasi.
Tidak mudah tentu
melakukan hal yang berbeda, terlebih dalam sebuah organisasi besar
yang bergerak dalam berlapis birokrasi. Variasi bisnis kehutanan
tersebut menjadi sebuah keharusan agar Perhutani nantinya dapat
semakin kompetitif dalam memanfaatkan hasil hutan secara sustainable.
Dalam estimasi target
yang ditentukan, hingga akhir 2014 diharapkan hasil hutan non kayu
akan berkontribusi pada 52% dan sisianya disumbangkan oleh hasil
kayu, dengan target pendapatan sebesar Rp4.6 triliun dan hal ini akan
semakin bertambah hingga sekitar 55% pada 2016 mendatang.
Kebijakan menjadi sebuah
holding dengan penggabungan PT Inhutani I-V jelas merupakan langkah
awal dalam mengeskalasi totalitas bisnis dan industri kehutanan dalam
negeri yang dimotori oleh gerak unit usaha milikpemerintah, karena
memang BUMN diharapkan dapat menjadi leading unit pada usaha yang
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam secara berkesinambungan.
Perubahan Paradigma
Kekayaan alam dibidang
kehutanan didalam negeri jelas tidak berbilang, sayangnya kita hanya
terpaku pada pemanfaatan hutan sebagai sumber pendapatan. Terlebih
konversi hutan untuk perkebunan serta pertambangan menyebabkan laju
penyusutan serta degradasi luasan areal hutan terjadi secara cepat.
Padahal dalam ekosistem
hutan, banyak hal yang dapat dimanfaatkan lebih dari sekedar kayu
sebagai material mentah semata. Pemanfaatan hasil sadapan untuk
minyak kayu putih, atau getah pinus bahkan hingga madu hutan hanya
sebagian kecil yang kita kenal, tentu masih banyak lagi yang belum
teroptimalisasi dengan baik.
Bila berkaca dari
korporasi yang sukses menerapkan eco-preneur seperti The Body Shop,
dengan multi varian produk yang dipergunakan berbahan dasar
alami,dengan wewangian dan berbagai bentuk derivatif kosmetika bagi
wanita, tentu kita memiliki kelebihan dalam pasokan bahan baku.
Bahwa kekayan alam dapat
dimanfaatkan secara bijaksana tanpa merusak, belum lagi bila kita
mampu memanfaatkan secara jeli produk hutan sebagai kerajinan khas
yang identik dengan etnik, yang kerap menjadi sandingan handycraft
pada pengolahan barang bekas pakai tentu lebih bernilai jual.
Pola pikir dan paradigma
yang berubah adalah syarat utama dalam perubahan, sehingga awal yang
baik tengah dimulai oleh Perhutani dalam melakukan inisiasi perubahan
komposisi bisnis yang lebih memberikan ruang bagi daya dukung
lingkungan sebagai pelindung bagi kehidupan kita, yakni hutan.
Tidak hanya itu,
pemanfaatan hasil hutan harus mulai ditingkatkan dari sekedar menjual
bahan mentah menjadi setengah jadi atau produk jadi, sehingga nilai
tambah yang diberikan secara ekonomi akan lebih meningkat, oleh
karena itu Perhutani harus berada dalam lingkup terintegrasi dengan
berbagai industri pengolahan langsung hasil hutan.
Lebih jauh lagi, komitmen
pemanfaatan hutan dapat pula diterjemahkan dengan membangun kawasan
eco-tourism, yang tentu dapat menjadikan kekayaan alamiah ini menjadi
bagian dari kepentingan pariwisata Indonesia dimata dunia, dan hal
ini menjadi sebuah kolaborasi yang menarik antara pengelolaan hutan
secara lestari dengan maksimalisasi daya dukung ekonomi yang dapat
dihasilkan.
Jangan sampai sebutan
Zambrud Khatulistiwa yang merujuk pada kekayaan alam berupa hutan
hijau disepanjang negara kepulauan ini, hanya menjadi kenangan karena
ketidakmampuan mendayagunakan kelebihan yang telah terberi sebagai
anugerah menjadi sebuah kekayaan yang dapat dinikmati secara
berkelanjutan, lestari dan memberikan manfaat banyak bagi masyarakat
Indonesia dikemudian hari.
Sumber foto:
www.bisnisaceh.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar