Terkadang tidak mudah
untuk melakukan evaluasi serta introspeksi diri, dibandingkan
mendengarkan pendapat orang lain. Hal itu bisa terjadi karena kita
secara tidak sengaja telah hidup berdamai bersama kondisi kelemahan
kita, sehingga weakness point menjadi suatu hal biasa bahkan
terbilang normal.
Termasuk pada saat
pelantikan pemerintahan terpilih, menarik untuk dapat melihat fokus
pemberitaan pada media asing, terkait dengan tantangan yang akan
dihadapi oleh Presiden baru beserta jajaran pemerintahan mendatang.
Komparasi ini dapat dilihat pada arus pemberitaan Times dan Straits
Times.
Kedua media asing
tersebut merepresentasikan bagaimana dunia melihat Indonesia dan
permasalahan yang membelitnya sebagai tantangan bagi perkembangan
serta pertumbuhannya. Majalah Time melihat tantangn Indonesia antara
lain (1) kebuntuan politik (2) kelambanan ekonomi (3) ekstrimisme (4)
birokrasi yang kotor (5) interaksi hubungan antar kelompok etnis.
Pada sisi yang hampir
sama media Singapura, Straits Times melihat hal serupa (1) aspek
dukungan politik mayoritas di parlemen (2) pembentukan kabinet bersih
dan efisien (3) penyeimbangan anggaran dan pengurangan subsidi (4)
ancaman ekstrimisme dan ISIS serta (5) pemberantasan korupsi sebagai
kanker endemis di Indonesia.
Koreksi Internal
dan Perbaikan
Tentu bagi kita, yang
hidup dan bergelut dengan berbagai permasalahan domestik, terkadang
sulit untuk dapat menterjemahkan format langkah dalam penyelesaian
masalah yang kita hadapi, bisa jadi salah satunya adalah kita sudah
memiliki kelembaman yang solid sehingga pangkal persoalan telah
dinilai menjadi menjadi kawan dibandingkan lawan yang harus segera
ditangani.
Melihat dari sudut
pandang kacamata pihak luar, tentu memberi perspektif yang berbeda.
Bahkan ketika masalah kita mampu diformulasikan oleh pihak lain, maka
sudah seharusnya kita melakukan koreksi kedalam dan menjalankan
langkah perbaikan demi kemajuan bersama sebagai bangsa.
Permasalahan klasik yang
dihadapi Indonesia masih berkutat pada persoalan ekonomi-politik, dan
kedua media asing tersebut melakukan klasifikasi atas ketegori
masalah sebagai tantangan yang harus dapat dipecahkan oleh
kepemimpinan yang baru dilantik, sebagai pemegang kuasa atas mandat
publik.
Aspek komunikasi antar
pelaku elit politik kali ini sudah mulai menunjukkan adanya indikasi
relaksasi, meredakan ketegangan meski berkomitmen untuk menjadi
oposisi positif nan konstruktif bagi kepentingan rakyat, tentu hal
tersebut setidaknya meredakan tensi politik yang sempat memuncak.
Hanya kedewasaan
berpolitik melalui sikap kenegarawanan yang memandang kepentingan
lebih besar dalam kehidupan berbangsa sebagai aspek krusial maha
penting dibanding rivalitas tidak berujung.
Perwujudan pemerintahan
bersih yang berwibawa dan memangkas inefisiensi, harus dapat segera
diklarifikasi melalui penunjukan para pembantu presiden dalam
struktur kabinet kerja yang memang hanya ditujukan untuk dapat
bekerja dan mengabdi pada kepentingan masyarakat secara meluas.
Koordinasi presiden
terpilih dengan KPK dan PPATK tentu patut diapresiasi untuk
mendapatkan pertimbangan terkait dengan profil pada calon menteri
nantinya, meski hal tersebut menjadi domain prerogatif presiden,
namun pengabaian atas kehendak akan pemberantasan korupsi dengan
mengeliminasi figur yang agak “kusam” adalah pertimbangan nan
utama.
Bila korupsi disebut
menjadi kanker endemis, maka peran pemerintah untuk dapat membuka
akses penguatan akan instrumen hukum tindak korupsi seperti KPK perlu
dipertahankan dari berbagai upaya pelemahan kewenangan yang diusung
oleh berbagai pihak kelompok kepentingan yang berseberangan.
Sedangkan pada ranah
ekonomi serta subsidi, hal ini menjadi bagian dari perwujudan kerja
kabinet dibawah presiden baru untuk dapat memberikan terobosan dan
perbaikan yang dapat menunjang pertumbuhan sekaligus pemerataan,
termasuk meletakkan kerangka berpikir mengenai subsidi, karena cut
off langsung atas subsidi bisa berdampak lebih luas dari apa yang
dibayangkan.
Ekstrimisme memang erat
dan lekat dengan konsepsi prinsip agama, namun demikian pemerintah
harus memiliki langkah yang efektif dari pemisahan radikalisme
keagamaan dari kehidupan beragama, sehingga tidak terjadi
kriminalisasi agama, sesungguhnya cara termudah untuk melepas
radikalisme adalah dengan perbaikan kondisi ekonomi.
Manakala manifestasi
langsung dari bentuk kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran dalam
kehidupan bernegara dapat tercapai, maka sudut pandang nan sempit
dalam pemahaman keagamaan dapat terkikis dengan sendirinya, karena
kemiskinan serta kebodohan adalah sejatinya pembentuk radikalisme.
Berkaca dari telaah yang
disorongkan oleh media asing, kita tentu berharap proses koreksi
serta evaluasi dalam perbaikan penyelenggaraan bernegera dapat segera
diimplementasikan dalam tujuan pencapaian kehidupan berbangsa yang
adil makmur dan sejahtera sesuai amanat UUD '45. Merdeka.
Sumber foto;
obrolanekonomi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar