Sudah menjadi laku sejarah,
perkembangan pertumbuhan bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari konsumsi energi
yang dipergunakan.
Pun termasuk demikian dengan sektor
kelistrikan, kebutuhan akan pasokan daya listrik akan semakin bertambah dimasa
mendatang, hal ini lumrah mengingat pertumbuhan pendudukan dan total jumlah
aktifitas individu maupun bisnis yang semakin bertambah.
Seperti ditargetkan, nantinya pada
2020, tercapai tambahan elektrifikasi 125 ribu sambungan, sehingga dibutuhkan
240 ribu mega watt listrik untuk itu, sementara produksi aktual sekarang hanya
50 ribu mega watt.
Sementara itu, profile konsumsi
listri diperkirakan hingga 2030, akan didominasi pangsa industri sebagai yang
tertinggi 41,9%, disusul sektor komersial 30,7% berurutan rumah tangga 27,4%
dan terakhir sektor tranportasi 0,05%.
Rasio ketersambungan listrik yang
baru mencapai 70% tentu mengisyaratkan pentingnya pembangunan jaringan
kelistrikan nasional.
Sebagai negara berkembang, tingkat
konsumsi listrik kita terbilang masih rendah, dimana klasifikasi atas average
negara kelas menengah membutuhkan supply listrik minimal 600 Watt per kapita,
sementara kita baru 216 Watt per kapita.
Alokasi anggaran subsidi listrik
pada APBN 2015 dipatok sebesar Rp68,69 triliun, mengalami penurunan 20% dari
tahun sebelumnya yang mencapai Rp85,75 triliun.
Dengan laju pertumbuhan listrik
sekitar 7-9% pertahun, berkomposisi pembangkitan didominasi oleh penggunaan
batubara sekitar 60% dan prediksi pemakaian gas naik hingga 25% serta melakukan
perubahan pembangkit berbasis BBM yang dikategorikan sebagai sumber listrik
mahal, efisiensi terus dilakukan.
Sayangnya, batubara yang menjadi
tulang punggung pembangkit listrik nasional masih dikonversi dengan menggunakan
teknologi lama, sehingga perlu update untuk dapat mencapai target penurunan
emisi gas rumah kaca sebesar 40%.
Lebih lanjut, kemampuan pengembangan
pembangunan pembangkit listrik membutuhkan dana yang tidak sedikit, setidaknya
untuk dapat melakukan penambahan produksi listrik 10 ribu mega watt diperlukan
biaya setara Rp 200 triliun per tahun.
Mau Kemana?
Dengan semakin terbukanya peluang
investasi swasta, baik asing maupun domestik, maka sektor kelistrikan menjadi
incaran para pihak pemodal.
Problemnya, ketika kemampuan negara
terbatas, maka persoalan mengenai kepentingan publik dan hajat hidup orang
banyak menjadi suatu hal yang multitafsir, apakah public service obligation
atau profi oriented sector?.
Infrastruktur dan kelistrikan,
sesungguhnya masuk dalam kategori PSO dengan pengelolaan dibawah badan usaha
milik negara yakni PLN, namun saat era pasar bebas nantinya perlu dipastikan
rumusan negara atas sektor yang memungkinkan terjadinya peran swasta lokal
maupun asing tersebut.
Keberagaman sumber energi yang dapat
dipergunakan untuk menjadi tenaga pembangkit listrik, harus menjadi dasar
pijakan bagi pengembangan ketersambungan listrik nasional.
Kita bisa menyebut potensi panas
bumi, belum lagi terik matahari, sampai kepada pemanfaatan tenaga anging dalam
pemenuhan kebutuhan listrik nasional, khususnya bagi daerah yang memiliki ruang
aksesibilitas terbatas.
Tentu, dalam hal ini yang perlu
dipastikan adalah melembagakan kemandirian kelistrikan nasional, dibandingkan
harus kembali didikte oleh kepentingan investor.
Jika kita tidak mampu lepas dari
ketergantungan atas sumber bahan bakar fosil dan tidak segera melakukan
perubahan kepada orientasi sustainable energy yang mengembangkan energi
terbaharukan, maka kita pasti selalu akan terkendala pada perubahan sumber
pasokan ditingkat dunia secara akut.
Butuh kerja keras dan pemerintahan
tegas yang berkomitmen tuntas akan ketersediaan pasokan listrik untuk
menciptakan terang lampu di malam hari sebagai pendamping indahnya bulan.
Sumber foto: www.kabarbisnis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar