Jumat, 03 Oktober 2014

Sejarah Panjang Palu Kebenaran #Kisah Ceu Popong



Sontak kita terkesima melihat penampilan Popong otje Djundjunan yang membuka sidang perdana paripurna DPR, didapuk sebagai ketua sidang, politisi Partai Golkar ini memiliki kemampuan tangguh dalam stamina maupun menghadapi arus deras interupsi.

Representasi pemimpin sidang sementara yang disandang karena senioritas berdasarkan umur, Ceu Popong (76) panggilan akrabnya menjadi perangkat penting dari tata persidangan anggota dewan legislatif terpilih tersebut.

Statementnya mencairkan suasana yang tegang dengan tensi yang tinggi saat palu sidang sempat hilang dari pandangan matanya, "Mana Paluna, Euwuh" ujarnya, berlogat sunda.

Kita tidak hendak membahas aksi individu tersebut yang memuncak dengan menjadi trending topik ber-hashtag #SaveCeuPopong, tetapi kisah soal palu yang vital dalam sebuah persidangan.

Palu dalam Kilasan Sejarah

Ternyata palu memang alat kelengkapan persidangan, bahkan diatur dalam tata peraturan yang khusus. Penggunaan dan bunyi ketuk palu pun tidak sembarangan.

Ketukan dibuat dengan mengangkat palu lebih 10-15 cm dari meja, dengan sudut kemiringan 50°-60°, diketuk dengan suara yang dapat terdengar oleh seluruh hadirin.

Selain itu, makna ketukan pun diatur dengan spesifik, seperti 1 kali ketuk berarti putusan sah atau skors, sementara itu 2 kali ketuk untuk pencabutan skors atau waktu lobby, sedangkan 3 kali ketuk saat pembukaan maupun penutupan sidang.

Palu memiliki catatan sejarah, tercatat telah dipergunakan sejak jaman purbakala, bahkan disebut sejak 2.400.000 SM, bentuknya sederhana dan mengalami perubahan pada 30.000 SM diperiode tengah Zaman Paleolitik Batu, sehingga palu dikategorikan sebagai alat bantu manusia tertua.

Dipergunakannya palu dalam. Persidangan, ditengarai dimulai pada saat Pasca Revolusi Perancis. Periode 1789–1799 tersebut terjadi pergolakan perlawanan melawan monarki dan rakyat membentuk konstitusi baru, dimana konsensus dibangun dengan lonceng gereja, namun tidak praktis, hingga palu dan bunyi palu kemudian dipergunakan untuk menyatakan persetujuan akan ketentuan baru.

Revolusi yang meruntuhkan monarki tersebut kemudian digantikan dengan bekal prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). 

Palu pun memiliki akar sejarah dalam mitologi Nordik (norwegia Kuno), dimana benda berupa palu godam (Mjolnir) dipergunakan sebagai senjata ampuh yang mampu menimbulkan petir, yang dipergunakan kemudian oleh Dewa Petir yakni Thor yang kemudian dipercaya sebagai lambang perlindungan oleh bangsa Viking.

Tidak hanya itu, palu pun memiliki sejarah kelam yang diasosiasikan secara negatif. Ketika bersanding dengan arit misanya dan menjadi sebuah symbol yang bersatu, maka palu dan arit menjadi representasi ideology komunis yang muncul saat Revolusi Bolshevik Rusia 1917, sebagai bentuk persamaan status yang menjunjung tinggi pekerja kasar yakni buruh dan petani.

Setidaknya ketika kita belajar tentang palu dalam lintasan sejarah, maka yang terpenting bagi kita adalah melihat kearifan, bahwa palu kini bukan sekedar perkakas rumah tangga semata, namun dapat naik status menjadi sarana pengadil menjadi alat kebenaran dan keadilan, tetapi palu tetaplah palu, siapa orang yang berada dibalik palu itulah yang memiliki tanggungjawab penuh dalam mendefinisikan keadilan serta kebenaran.

Sumber foto: hukum.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar