Sontak kita terkesima melihat
penampilan Popong otje Djundjunan yang membuka sidang perdana paripurna DPR,
didapuk sebagai ketua sidang, politisi Partai Golkar ini memiliki kemampuan
tangguh dalam stamina maupun menghadapi arus deras interupsi.
Representasi pemimpin sidang
sementara yang disandang karena senioritas berdasarkan umur, Ceu Popong (76)
panggilan akrabnya menjadi perangkat penting dari tata persidangan anggota
dewan legislatif terpilih tersebut.
Statementnya mencairkan suasana yang
tegang dengan tensi yang tinggi saat palu sidang sempat hilang dari pandangan
matanya, "Mana Paluna, Euwuh" ujarnya, berlogat sunda.
Kita tidak hendak membahas aksi
individu tersebut yang memuncak dengan menjadi trending topik ber-hashtag
#SaveCeuPopong, tetapi kisah soal palu yang vital dalam sebuah persidangan.
Palu dalam
Kilasan Sejarah
Ternyata palu memang alat
kelengkapan persidangan, bahkan diatur dalam tata peraturan yang khusus.
Penggunaan dan bunyi ketuk palu pun tidak sembarangan.
Ketukan dibuat dengan mengangkat
palu lebih 10-15 cm dari meja, dengan sudut kemiringan 50°-60°, diketuk dengan
suara yang dapat terdengar oleh seluruh hadirin.
Selain itu, makna ketukan pun diatur
dengan spesifik, seperti 1 kali ketuk berarti putusan sah atau skors, sementara
itu 2 kali ketuk untuk pencabutan skors atau waktu lobby, sedangkan 3 kali
ketuk saat pembukaan maupun penutupan sidang.
Palu memiliki catatan sejarah,
tercatat telah dipergunakan sejak jaman purbakala, bahkan disebut sejak
2.400.000 SM, bentuknya sederhana dan mengalami perubahan pada 30.000 SM
diperiode tengah Zaman Paleolitik Batu, sehingga palu dikategorikan sebagai
alat bantu manusia tertua.
Dipergunakannya palu dalam.
Persidangan, ditengarai dimulai pada saat Pasca Revolusi Perancis. Periode
1789–1799 tersebut terjadi pergolakan perlawanan melawan monarki dan rakyat
membentuk konstitusi baru, dimana konsensus dibangun dengan lonceng gereja,
namun tidak praktis, hingga palu dan bunyi palu kemudian dipergunakan untuk
menyatakan persetujuan akan ketentuan baru.
Revolusi yang meruntuhkan monarki
tersebut kemudian digantikan dengan bekal prinsip baru; Liberté, égalité,
fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Palu pun memiliki akar sejarah dalam
mitologi Nordik (norwegia Kuno), dimana benda berupa palu godam (Mjolnir)
dipergunakan sebagai senjata ampuh yang mampu menimbulkan petir, yang
dipergunakan kemudian oleh Dewa Petir yakni Thor yang kemudian dipercaya
sebagai lambang perlindungan oleh bangsa Viking.
Tidak hanya itu, palu pun memiliki
sejarah kelam yang diasosiasikan secara negatif. Ketika bersanding dengan arit
misanya dan menjadi sebuah symbol yang bersatu, maka palu dan arit menjadi
representasi ideology komunis yang muncul saat Revolusi Bolshevik Rusia 1917,
sebagai bentuk persamaan status yang menjunjung tinggi pekerja kasar yakni
buruh dan petani.
Setidaknya ketika kita belajar
tentang palu dalam lintasan sejarah, maka yang terpenting bagi kita adalah
melihat kearifan, bahwa palu kini bukan sekedar perkakas rumah tangga semata,
namun dapat naik status menjadi sarana pengadil menjadi alat kebenaran dan
keadilan, tetapi palu tetaplah palu, siapa orang yang berada dibalik palu
itulah yang memiliki tanggungjawab penuh dalam mendefinisikan keadilan serta
kebenaran.
Sumber foto: hukum.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar