Selasa, 14 Oktober 2014

Relasi Komunikasi dan Jalinan Kepercayaan

Kita tentu patut mengapresiasi metode kerja senyap yang dilakukan oleh Pak Boediono dalam hal penyelamatan aset yang diindikasikan terkait dengan penyimpangan penerimaan negara. Dalam laporan yang dipaparkan, setidaknya terdapat aset hitam senilai Rp4,574 triliun dan U$718.868 dolar AS serta SingDolar 9,98 juta serta berbagau aset properti lain yang belum dapat ditentukan nilainya.

Dari sejumlah itu, Rp2,596 triliun telah berhasil dikembalikan ke negara dan sisanya sedang menjalani proses hukum terkait, sehingga diperkirakan akan mengalami pertambahan. Tanpa publikasi yang gegap gempita, ternyata Pak Boediono menunjukan hasil kerja nyata yang tidak terliput.

Pada kasus tersebut, sesungguhnya pola komunikasi yang tertutup memang membuat banyak pihak menaruh sangsi akan aktifitas yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Bahkan dalam banyak kesempatan, sikap tertutup tersebut kemudian dikaitkan dengan berbagai spekulasi liar nan panas seperti soal skandal Bank Century.

Skill Komunikasi Pejabat Publik
Disisi yang bersamaan, kita tentu berharap seorang tokoh sekaligus pejabat publik yang diberikan mandat serta wewenang dipundaknya, memiliki kemampuan berkomunikasi secara dialogis dengan audiens publik. Proses komunikasi tersebut membangun common perception menuju high trust level.

Konsekuensi dari keberadaan pejabat publik tentu saja adalah sorotan publik, dan hal tersebut adalah logika yang wajar karena ekspektasi yang diharapkan publik sangat bergantung dari kerja nyata yang dapat dihasilkan, persoalannya yang timbul kemudian adalah bagaimana ukuran keberhasilan dapat ditentukan bila aktifitas dalam berkegiatan menjadi bersifat tertutup dan terkesan ekslusif.

Bahwa pembangunan rasa kepercayaan, hanya dapat dirajut melalui proses komunikasi, dan relasi dalam interaksi tersebut akan menciptakan kebersamaan dan inklusifitas yang tentu saja diharapkan menjadi bagian penyambung rasa, bahwa pemimpin tidak berjarak dari yang dipimpin.

Tetapi memang harus diakui, cara dan gaya bekerja individu berbeda dan unik, karena hal itu tentu sangat bergantung dari tipikal atas karakter pribadi seseorang. Namun, saat status kedudukan berubah menjadi pejabat publik, maka momentum beraudiensi dengan publik harus menjadi agenda penting.

Meski memang, kita memang butuh informasi yang terbuka, karena sikap yang transparan dapat membangkitkan sentimen positif dalam membangun kepercayaan publik dan hal itu harus ditunjukkan secara riil oleh seluruh pejabat publik yang menyandang kedudukan sebagai aparatur negara.

Pada masyarakat yang semakin modern dan kritis, tentu tidak dapat dihindari seorang pejabat publik harus dapat menjadikan kritik sebagai sarana evaluasi yang reflektif bagi kemajuan bangsa secara bersama, karenanya sikap yang komunikatif, setara dan interaktif dalam dialog hangat tentu dinantikan.

Gaya komunikasi nan retorik, penuh penekanan yang bersifat satu arah dan menutup ruang diskusi lebih lanjut tidak lagi mendapatkan tempat dimasa sekarang, karena kita sudah lama terkungkung dalam ketertutupan informasi yang suram pada saat era semi-demokrasi pra reformasi.

Berkomunikasi tentu bukan saja menyoal melulu tentang hasil kerja, tetapi sekaligus mendorong publik untuk memberikan masukan, koreksi dan mendapatkan konsensus dari harapan yang diinginkan oleh audiens yang meluas tersebut, sehingga pada akhirnya kebijakan yang diambil dalam bentuk program kerja yang disusunkan akan dapat sesuai dengan actual needs yang muncul.

Tentu bukan pula pejabat publik yang nampak menjadi “overacting” berkomunikasi melalui -sosial media sepanjang waktu dengan lapisan penggemar loyalnya saja untuk berbagai hal yang nampaknya tidak esensial dalam solusi yang menyentuh persoalan publik.

Komunikatif, tentu tidak hanya dengan yang sepaham dan sependapat, karena kita hanya akan berada dalam kondisi yang stagnan tanpa dinamika ala Orde Baru dengan ABS -Asal Bapak Senang-nya, bahkan harus mampu berhadapan dengan kelompok yang berseberangan, karena negara ini adalah milik kita bersama bukan bagian perbagian semata.

Jadi, kolektif kepemimpinan nasional dimasa mendatang tentu harus mampu memecahkan kebuntuan komunikasi melalui keterbukaan informasi yang bersifat dialogis dan serata sehingga kita dapat bersama membangun negeri ini melalui peran serta aktif semua lapisan kepentingan sesuai dengan peran masing-masing.

Terima kasih pak Boed, atas kebersahajaan dan kerja kerasnya, tentu hal tersebut menjadi inspirasi bagi perbaikan kita bersama.

Sumber foto: ms.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar