Usai sudah pelantikan
kenegaraan atas Presiden terpilih, tentu larut dalam euforia yang
berlebihan tidak memberikan manfaat, sudah saatnya kembali bekerja
menghadapi realita karena tantangan kedepan membutuhkan kemampuan
yang besar untuk dapat melampauinya.
Tantangan pertama
pemerintahan Jokowi adalah perubahan APBN 2015, yang didalamnya
terkait dengan Subsisi Energi, termasuk pula persoalan terkait dengan
import BBM yang selama ini dinilai sebagai faktor yang memberikan
beban bagi ruang fiskal atas budget anggaran pemerintah.
Dalam skema yang sudah
muncul kepermukaan, nampaknya usulan untuk menaikkan harga BBM akan
menjadi opsi pilihan untuk diimplementasikan, hal tersebut sangat
berkaitan keberanian untuk mengambil langkah yang memberi dampak
minimal atas kondisi ekonomi meski langkah tidak populer.
Bahkan tidak tanggung
disebut kenaikan akan berkisar Rp3.000/liter BBM. Hal ini merupakan
bagian dari penvermatan atas subsidi BBM dalam APBN 2015 sebesar 46
juta KL dengan nilai sebesar Rp276 triliun, dinilai sebagai cost yang
dapat dievaluasi melalui instrumen kenaikan harga.
Dimana nantinya, efek
dari penghematan yang dilakukan akan memberi dampak atas kelonggaran
anggaran hingga sebesar Rp 120 triliun. Disisi yang bersamaan,
kenaikan harga BBM akan menambah biaya transportasi yang berimbas
pada harga logistik, dimana kenaikan harga BBM setara Rp 1.000/ liter
maka akan menambah inflasi hingga naik 1,43%, dan kemiskinan
bertumbuh 0,41%.
Sesuai
anggaran tersedia., pemerintahan SBY telah mempersiapkan bantalan
sosial senilai Rp10 triliun yang displit dalam periode tahun 2014 dan
2015. Dan nilai tersebut akan dapat ditujukan bagi 27 juta sasaran
penerima bantuan dalam bentuk kompensasi langsung berupa Bantuan
Langsung Tunai-BLT yang dibagikan ke target sasaran untuk
mempertahankan kemampuan daya beli temporal.
Dalam
berbagai konteks, bila kemudian kita berbicara tentang kemampuan
kreatif pemerintah dalam mensiasati anggaran, maka keharusan
melakukan penghematan jelas menjadi syarat utama efisiensi budget,
yang akan mendasari komitmen kerja pemerintahan kali ini. Untuk itu,
kemampuan dalam melakukan perampingan struktur yang berujung pada
penghematan biaya perlu dilakukan.
Sebelum
meninjau lebih jauh atas “persetujuan” kenaikan harga BBM, maka
pemerintah jelas perlu membuktikan langkah konkret dalam melakukan
penyelamatan anggaran dari hal yang tidak substansial dalam mendukung
kebijakan pembangunan. Pun termasuk menyoal skema BLT sebagai bentuk
antisipasi dari kenaikan BBM yang akan dilaksanakan.
Asumsi
kemiskinan yang menggunakan premis bahwa pendapatan U$ 1.25 perhari,
telah menempatkan sejumlah 65 juta orang berkategori miskin, dan bila
kemudian batasan tersebut dinaikan dengan asumsi kemiskinan atas
pendapatan menjadi U$2 perhari akan semakin membuat sesak penduduk
miskin didalam negeri yakni sebanyak 100 juta orang, dan ini adalah
jumlah besar dari skema BLT nantinya.
Selama
ini pola subsidi langsung dengan pembagian jatah tunai kepada
penduduk sasaran, tidak berkorelasi langsung dengan efek peredaman
atas dampak kenaikan BBM. Pemerintah harus lebih sigap dalam
membentuk kompensasi yang memberikan efek jangka panjang, serta
mendukung bagi pembangunan struktur ekonomi, melalui kelonggaran
ruang fiskal yang diperoleh.
Bila
BLT dikonversi menjadi berbagai kerangka subsidi tidak langsung lain,
seperti pada sektor: pendidikan, kesehatan, atau harga bahan pokok
misalnya, maka pemerintah kali ini tengah berupaya membangun mental
warga bangsa ini untuk memiliki kemauan keras dalam berusaha, karena
berkaca dari antrian BLT pada periode sebelumnya, tentu perlu
dipertanyakan sejauhmana efektifitas kerjanya.
Pada
kerangka ekonomi, kemampuan daya beli masyarakat tidak kemudian
distimulasi dengan pengangan tunai yang dimiliki, melainkan kepada
kemudahan aksesibilitas harga yang diperlukan dalam kebutuhan
konsumsi bagi pemenuhan primary
needs.
Ketimpangan
pendapatan yang direfleksikan melalui Indeks
Gini yang bertengger semakin besar
diangka 0.41 menandakan bahwa terdapat senjang antara “si
kaya dan si miskin” menjadi lebar,
untuk itu pemerintah harus mendorong terciptanya upaya pemerataan
disamping mengejar pertumbuhan.
Beberapa
langkah yang harus menjadi konsideran pemerintah, termasuk perlakuan
atas pembukaan akses sumber ekonomi dan membentuk kebijakan yang
pro-job and pro-poor (aspek
pemertaan). Bila sudah demikian BLT
tentu menjadi skema yang usang, karena tidak membentuk mentalitas
bekerja terlebih kerap menjadi sarana bagi pemenuhan kebutuhan non
primer.
Kembali
pada persoalan kenaikan harga BBM, maka tantangan ini sekaligus
menjadi ujian pertama Jokowi untuk berhadapan dengan wong
cilik, mampukah revolusi
mental yang didegungkan dapat
mengentaskan mentalitas short cut
dalam kerangka pembentukan
kebijakan, termasuk mengembalikan martabat rakyat untuk keluar dari
mentalitas meminta menjadi bekerja.
Tentu
sebelum semuanya dapat dijawab oleh Jokowi dan kabinet yang
disusunnya, maka kita perlu melihat contoh nyata dari kemampuan
leadership
Jokowi dalam memberikan inspirasi bagi ruang penghematan lain dalam
anggaran pemerintah secara kreatif dan inovatif, sebelum kemudian
memutuskan persoalan lingkaran belenggu BBM.
Selamat
bekerja dan selamat datang Presiden terpilih.
Sumber
foto: www.itoday.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar