Industri kreatif
sesungguhnya merupakan definisi cair dari kemampuan mengeksploitasi
kreatifitas dan kemampuan untuk berdaya kreasi guna menjadi sumber
pendapatan bagi kesejahteraan, dan dalam hal tersebut industri film
menjadi sebuah bagian dari klasifikasi kategori tersebut.
Dalam sebuah industri
kreatif, maka ide, gagasan dan pengetahuan ditempatkan sebagai hal
utama yang menjadi driving force bagi keberadaan dunia industri
kreatif itu sendiri. Bila sudah demikian, para pekerja kreatif yang
berkecimpung didalamnya dituntut hidup dan bernafas secara kreatif
dan nonstop.
Kegairahan industri
kreatif kita terbilang besar, berdasarkan data Kemenpakeraf diketahui
ekspor karya kreatif asal Indonesia hingga tengah tahun 2014 sebesar
Rp63.1triliun naik 7.27% dari tahun 2013 dikontribusikan oleh sektor
kerajinan (11.8%), mode (7.1%), periklanan (6.0%) dan arsitektur
(5.6%).
Potensi yang besar ini,
sesungguhnya dapat dimanfaatkan seluas mungkin, bila kita memiliki
daya saing kreatif dari pelaku serupda di dunia. Tengok saja sejarah
industri kreatif, khususnya perfilman domestik yang sempat mencuatkan
nama Tangkiwood sebagai kawasan Hollywood Indonesia.
Terkenal sebagai pusat
perfilman pada periode awal 1930-1960, lokasi yang dulu terletak
disekitar Mangga Besar, Tamansari, Jakarta Barat yang kini menjadi
pusat hiburan malam Taman Hiburan Rakyat Lokasari, merupakan pusat
industri hiburan Batavia, dikenal sebagai Prinsen Park.
Sempat menjadi pemukiman
artis yang mencari peruntungan dan penghidupan di industri perfilman
tak ubahnya persis seperti Hollywood-nya Indonesia. Namun surut
kemudian hilang ditelanawan hingga kini kemudian industri perfilman
nasional mulai kembali menggeliat kepermukaan dari tidur panjang.
Sayangnya, eskpose layar
kaca membatasi kreatifitas dilayar lebar, setidaknya terlihat dari
data pada tahun 2013 hanya tercatat diroduksi 100 judul film,
sedangkan untuk seri layar kaca yang terbagi menjadi film televisi
dan seri mencapai 8.000 episode.
Membangun kembali
Tangkiwood serupa Hollywood jelas bukan hal mudah, karena sepanjang
sejarahnya pembangunan industri film dinegeri paman Sam memang
menjadi sebuah kerjabersama antara para pihak, tidak hanya oleh
pekerja kreatif saja namun juga pemilik modal dan pemerintah.
Hollywood adalah gambaran
ideal bagaimana industri hiburan besar berbaur dengan para pekerja
seni idealis yang kemudian dibalut dengankepentingan nasional untuk
mendorong produksi film sebagai sebuah komoditas ekonomi yang dapat
ditransaksikan dalam konteks jual-beli.
Hal itu, dalam riwayat
Hollywood sendiri telah dimulai sejak permulaan tahun 1900-an dan
bahkan bisa lebih jauh dari kurun waktu tersebut. Meski papan nama
gigantik bertuliskan Hollywood seperti yang sering terlihat dari film
import tersebut baru dibangun pada 1923.
Bagaimana kita
membangkitkan Tangkiwood untuk kembali bergairah dari mati surinya?
Jelas dengan memperbanyak jumlah karya yang kreatif perfilman. Tidak
bisa dipungkiri, film kita masih terjebak pada tipikal Bollywood
sebuah ikon industri film di India yang berputar pada persoalan
percintaan, balas dendam, polisi korup dan tarian serta nyayian
dengan durasi 180 menit.
Citarasa yang menarik
harus menjadi bagian dari kerangka produksi, kekuatan naskah dan ide
menjadi barang mahal, jelas dalam konteks tersebut plagiarisme adalah
hal yang terlarang karena hak cipta mendapatkan prioritas dalam
industri ini.
Lebih kanjut, pemerintah
memiliki andil untuk mendorong ekspose kebijakan bagi penciptaan
ruang proses berkreasi yang lebih lebar, utamanya dalam mendukung
terciptanya film berkualitas yang memiliki nilai jual secara
komersil.
Bertumbuhnya industri
film, pun meingkatkan jumlah ketersediaan berbagai film tematik yang
bagus, namun terlalu kaku dan idealistik, menguatkan ide sang
sutradara, terkadang tidak melihat perkembangan dinamika sasaran
audiens yang menjadi target penonton, termasuk tidak memberikan
sentuhan bisnis hingga kemudian malah menjadi terpuruk ketika dilepas
ke pasar.
Jadi? Industri kreatif
dibidang perfilman harus senantiasa dipupuk, ketika industri ini
mulai bangkit dari kelesuan yang berkepenjangan, semoga sineas dan
para pekerja kreatif di industri perfilman menjadi semakin kreatif
dalam berkarya.
Sumber foto:
www.kaskus.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar