Problematika politik tanah air
berkembang secara tidak terkendali, setidaknya beberapa pencermatan
atas issue yang laris diangkat melalui media massa menarik untuk
dibahas.
Ditangkapnya tukang sate atas konten
pornografi Jokowi terasa tidak seimbang dengan penanganan atas
kerangka sistemik kampanye hitam ala “Obor Rakyat”.
Lebih jauh lagi, bully pada media
sosial memang telah menjadi sebuah instrumen baru dalam membangun
konsensus publik, problemnya harus ditempatkan pada soal kredibilitas
sumber.
Riuh rendah nan bising yang dihasilkan
netizen ketika berlangsung secara anonymous tidak perlu ditanggapi
berlebih, prinsipnya “action speaks louder than just a word”.
Terasa menjadi sebuah ironi ketika pada
saat yang bersamaan, diberitakan bahwa terdapat napi KPK yang juga
mantan Walikota serta politisi dapat melenggang leluasa pada periode
masa tahanannya.
Hukum itu buta, dan kebutaan itu justru
tidak menjadikan prinsip keadilan secara seimbang, melainkan kemudian
menyasar secara timpang mereka yang ada didasar tangga kekuasaan
(baca: rakyat kecil) dengan perlakuan pengguna tangga kekuasaan
(baca: elit).
Belum lagi soal friksi yang nampaknya
tidak bisa terdamaikan antar koalisi partai politik ditingkat
parlemen, bahkan terbentuk struktur tandingan dan kelengkapan disusun
untuk memastikan kuasa politik.
Bangsa ini telah disekat seolah hanya
menjadi kepentingan kedua koalisi partai politik yang berseteru dalam
ajang PilPres terdahulu, dan hal tersebut sangat berbahaya karena
mempertaruhkan nasib masa depan bangsa secara keseluruhan.
Suara ancaman dengan komparasi serupa
di parlemen tentang Presiden dan Kabinet tandingan adalah hal yang
mengerikan serta berbahaya.
Doing Business in Indonesia?
Carut marut wajah perpolitikan domestik
dengan dinamika yang semakin tidak sehat jelas akan membuat kebuntuan
politik tersebut menyandera kemampuan ekonomi kita.
Tengok saja posisi Indonesia yang
terpuruk jauh dibandingkan negara tetangga dikawasan Asia Tenggara
dalam jejak Doing Business 2015 dari laporan Bank Dunia, hal ini
terkait dengan kemudahan berbisnis disuatu negara.
Posisi ke-114, hal itu adalah prestasi
yang diukir negeri ini, menjadi sebuah kondisi yang berbalik bila
dibandingkan dengan peringkat Singapura (1), Malaysia (18), Thailand
(26), Vietnam (78), Filipina (95) serta Brunei (101).
Ranking Indonesia hanya lebih baik
dibandingkan atas Kamboja (135) Timor Leste (172) dan Burma (178),
bila sudah demikian apakah kita masih akan tetap kisruh didunia
politik?
Kendala ekonomi akan semakin mengemuka,
jauh lebih besar dibandingkan problem politik, kita membutuhkan
stabilitas politik, kepastian hukum, kemudahan perijinan,
pemerintahan yang bersih serta perbaikan infrastruktur.
Kondisi tersebut, menjadi prasyarat
agar kemudahan bisnis dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
Bila kesadaran mengenai hal itu sudah
dengan gamblang dipahami, harusnya riak gelombang politik yang tidak
bertujuan bagi kepentingan publik sudah seharusnya dihentikan,
saatnya bekerja harus dimulai semua pihak tanpa terkecuali, karena
kita hendak melangkah kedepan bukan terpaku atas hasil dimasa lalu.
Let’s Move On.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar