Setelah
resmi dilantik, maka secara remi dimulailah periode kerja dari Kabinet Kerja
Presiden Jokowi, semua pihak menanti apa yang menjadi titik tolak utama yang
dilakukan oleh masing-masing menteri sesuai dengan bidang wilayah kerja
masing-masing.
Pada
banyak kesempatan, terlihat para menteri sibuk untuk melakukan koordinasi,
memetakan masalah termasuk melakukan gaya pengelolaan dengan menggunakan metodologi
“blusukan”, dalam istilah manajerial dikenal sebagai “MBWA -Management by
Walking Around”.
Pola
manajerial dalam MBWA menjadi salah satu bentuk metodologi manajemen dalam
sebuah tata kelola organisasi, dimana interaksi utama dilakukan dengan melihat
langsung kondisi realita untuk kemudian melakukan perumusan langkah strategis
dalam mengatasi masalah tersebut.
Tentu
tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh para menteri, sebagai
pembantu presiden maka memang mereka harus bekerja tidak hanya cepat namun juga
kilat, karena harapan itu teramat besar, terlebih kondisi ekonomi kedepan
belumlah bisa dipastikan dan penuh ketidakpastian.
Oleh
karena itu, gerak gesit para menteri dalam melakukan identifikasi masalah,
termasuk pada beberapa bidang yang mengalami perubahan nomenklatur atau bahkan
baru perlu segera membuat alur diagram permasalahan untuk kemudian segera
merumuskan langkah aksi programatik.
Kita
tentu tidak berharap apa yang terjadi saat ini hanya bersifat temporal, karena
perubahan itu kerapkali terjadi dalam waktu pendek untuk kemudian menjadi
steady pada durasi waktu jangka menengah dan panjang, sehingga kita kembali
mengulang kesalahan yang sama berulangkali.
Metode
Blusukan dan MBWA akan menjadi sebuah kesalahan ketika yang dilakukan hanya
bersifat simbolik dan menjadi bagian dari peran pencitraan, beberapa kesalahan
masih dapat terjadi dalam konteks pola pengelolaan seperti ini, antara lain:
- Terlepasnya konteks visitasi dari kegiatan perencanan, sehingga larut hanya dalam agenda fisik secara ritual, tanpa ada makna signifikan yang hendak dicapai dengan turun ke basis tersebut.
- Saat masalah yang dihadapi adalah masalah akut nan kronik terjadi dan tidak menawarkan alternatif solusi baru atas masalah tersebut, jebakan karitatif dimulai sebagai kerja tanpa tujuan.
- Manajerial bermakna pengelolaan dan pengaturan, sehingga pada konsepsi manajemen diperlukan kemampuan dari seni dan keilmuan dalam mendelegasikan tugas serta kewenangan.
- Mengambil intisari permasalah tentu memerlukan aktifitas menampung masalah secara “bottom-up” namun saat hal itu telah menjadi kebijakan jangan lupa hal itu bersifat “top-down”.
Tentu
tidak dapat disangkal, kita memang membutuhkan kepemimpina yang merakyat. Hal
ini jelas menjadi dambaan yang dinantikan, karena pola kepemimpinan yang kerap
kali menjadi model pemerintahan sebelumnya lebih dominan berbatas jarak antara
penguasa dan jelata.
Inspirasi
dan motivasi tentu bisa diharapkan tumbuh dan muncul bersamaan dengan kehadiran
figur pemimpin diantara publik yang dipimpinnya, untuk mendapatkan kesepahaman
dan kesepakatan untuk melangkah bersama secara lebih jauh lagi dimasa
mendatang.
Tapi
perlu diingat pula, bahwa kepemimpinan tersebut akan berorientasi pada proses
dan sekaligus hasil, karena itu diharapkan fase blusukan yang tengah
dikembangkan saat ini menjadi formulasi jawaban yang komprehensif sebagai
solusi integral permasalahan publik, tidak terjebak dalam euphoria yang tidak
berkesudahan.
Kita
patut menyimak seperti apa kebijakan yang akan diambil oleh para menteri
sebagai pembantu presiden terpilih dalam mewujudkan konsepsi Trisakti tersebut.
Kerja, kerja, kerja tidak berarti harus turun kelapangan terus menerus,
melainkan pula disertai dengan serangkaian tindakan seperti mencatat dan
merumuskan, serta membentuk kebijakan yang bersesuaian.
Blusukan
tentu sah-sah saja, tapi jangan lupa hasil akhir yang hendak dibuat sebagai
programatik kerja yang sesungguhnya.
Sumber
foto: news.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar