Sabtu, 15 November 2014

Kerja Blusukan, Manajemen Citra dan Evaluasi Manajerial



Setelah resmi dilantik, maka secara remi dimulailah periode kerja dari Kabinet Kerja Presiden Jokowi, semua pihak menanti apa yang menjadi titik tolak utama yang dilakukan oleh masing-masing menteri sesuai dengan bidang wilayah kerja masing-masing.

Pada banyak kesempatan, terlihat para menteri sibuk untuk melakukan koordinasi, memetakan masalah termasuk melakukan gaya pengelolaan dengan menggunakan metodologi “blusukan”, dalam istilah manajerial dikenal sebagai “MBWA -Management by Walking Around”.

Pola manajerial dalam MBWA menjadi salah satu bentuk metodologi manajemen dalam sebuah tata kelola organisasi, dimana interaksi utama dilakukan dengan melihat langsung kondisi realita untuk kemudian melakukan perumusan langkah strategis dalam mengatasi masalah tersebut.

Tentu tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh para menteri, sebagai pembantu presiden maka memang mereka harus bekerja tidak hanya cepat namun juga kilat, karena harapan itu teramat besar, terlebih kondisi ekonomi kedepan belumlah bisa dipastikan dan penuh ketidakpastian.

Oleh karena itu, gerak gesit para menteri dalam melakukan identifikasi masalah, termasuk pada beberapa bidang yang mengalami perubahan nomenklatur atau bahkan baru perlu segera membuat alur diagram permasalahan untuk kemudian segera merumuskan langkah aksi programatik.

Kita tentu tidak berharap apa yang terjadi saat ini hanya bersifat temporal, karena perubahan itu kerapkali terjadi dalam waktu pendek untuk kemudian menjadi steady pada durasi waktu jangka menengah dan panjang, sehingga kita kembali mengulang kesalahan yang sama berulangkali.

Metode Blusukan dan MBWA akan menjadi sebuah kesalahan ketika yang dilakukan hanya bersifat simbolik dan menjadi bagian dari peran pencitraan, beberapa kesalahan masih dapat terjadi dalam konteks pola pengelolaan seperti ini, antara lain:
  1. Terlepasnya konteks visitasi dari kegiatan perencanan, sehingga larut hanya dalam agenda fisik secara ritual, tanpa ada makna signifikan yang hendak dicapai dengan turun ke basis tersebut.
  2. Saat masalah yang dihadapi adalah masalah akut nan kronik terjadi dan tidak menawarkan alternatif solusi baru atas masalah tersebut, jebakan karitatif dimulai sebagai kerja tanpa tujuan.
  3. Manajerial bermakna pengelolaan dan pengaturan, sehingga pada konsepsi manajemen diperlukan kemampuan dari seni dan keilmuan dalam mendelegasikan tugas serta kewenangan.
  4. Mengambil intisari permasalah tentu memerlukan aktifitas menampung masalah secara “bottom-up” namun saat hal itu telah menjadi kebijakan jangan lupa hal itu bersifat “top-down”.
Tentu tidak dapat disangkal, kita memang membutuhkan kepemimpina yang merakyat. Hal ini jelas menjadi dambaan yang dinantikan, karena pola kepemimpinan yang kerap kali menjadi model pemerintahan sebelumnya lebih dominan berbatas jarak antara penguasa dan jelata.

Inspirasi dan motivasi tentu bisa diharapkan tumbuh dan muncul bersamaan dengan kehadiran figur pemimpin diantara publik yang dipimpinnya, untuk mendapatkan kesepahaman dan kesepakatan untuk melangkah bersama secara lebih jauh lagi dimasa mendatang.

Tapi perlu diingat pula, bahwa kepemimpinan tersebut akan berorientasi pada proses dan sekaligus hasil, karena itu diharapkan fase blusukan yang tengah dikembangkan saat ini menjadi formulasi jawaban yang komprehensif sebagai solusi integral permasalahan publik, tidak terjebak dalam euphoria yang tidak berkesudahan.

Kita patut menyimak seperti apa kebijakan yang akan diambil oleh para menteri sebagai pembantu presiden terpilih dalam mewujudkan konsepsi Trisakti tersebut. Kerja, kerja, kerja tidak berarti harus turun kelapangan terus menerus, melainkan pula disertai dengan serangkaian tindakan seperti mencatat dan merumuskan, serta membentuk kebijakan yang bersesuaian.

Blusukan tentu sah-sah saja, tapi jangan lupa hasil akhir yang hendak dibuat sebagai programatik kerja yang sesungguhnya.

Sumber foto: news.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar