Sabtu, 15 November 2014

Subsidi dan Daya Kompetisi Pertamina




Kenaikan harga BBM nampaknya hanya menunggu waktu, besaran subsidi yang akan dipangkas masih belum bisa dipastikan, namun kisaran eskalasi harga diprediksi akan berada disekitar Rp2.000-3.000/ liter.

Dengan demikian, melalui pendekatan tersebut, pemerintah berencana hendak menutup defisit anggaran yang timbul, dengan mereduksi subsidi BBM sebagai sumber efisiensi APBN.

Secara sosial, instrumen bantuan langsung maupun tidak langsung dalam berbagai program pemerintah dibidang kesehatan, pendidikan dan keluarga pra-sejahtera diharapkan dapat berlaku sebagai kompensasi sebagai upaya menjaga daya beli.

Keberatan banyak pihak akan kerangka kenaikan harga BBM oleh pemerintah didasari oleh berbagai alasan terkait, mulai dari penurunan harga minyak dunia, problem sosial-ekonomi sampai politik, termasuk pula kalkulasi atas dampak turunan bagi dunia bisnis, seperti industri otomotif.

Bisnis Hilir Pertamina

Tidak semua  larut dalam kesulitan seperti diatas, salah satu yang menyongsong dengan senang hati pemberlakuan pengurangan subsidi BBM adalah industri hilir retail SPBU-non Pertamina.

SPBU asing yang selama ini nampak tidak memiliki daya saing karena kelemahan tarif eceran, mulai patut diperhitungkan, karena pemerintah membuka secara lebar celah layanan tersebut, dan potensi itu tentu tidak akan dibuang percuma.

Dominasi Pertamina sebagai organisasi yang ditunjuk oleh pemerintah dan berhak untuk melakukan pengelolaan distribusi BBM, masuk dalam kategori industri hilir, yang berhubungan langsung dengan end user, membuat perusahaan yang dahulu berlogo kuda laut itu menjadi “key player” menuju monopoli.

Regulasi dan subsidi menjadi daya dukung Pertamina untuk bermain dibidang distribusi BBM, para pesaing yang rerata adalah pelaku dan operator asing tidak mampu mengejar kemampuan gerak Pertamina karena previledge yang dimiliki tersebut.

Momentum pun bersambut, pemerintah kini telah berancang-ancang untuk menaikkan BBM, membuat disparitas akan harga jual BBM Pertamina dan kompetitor menjadi tidak signifikan, dan sekali lagi, bagi SPBU asing hal ini menjadi sebuah berkah.

Kemampuan memadukan bisnis SPBU sebagai sebuah jasa terintegrasi, membuat SPBU asing lebih kuat dalam aspek kualitas akan standart layanan, serta jaminan reputasi dan kredibilitas penjual.

Pertamina bukan tanpa daya upaya, sertifikasi SPBU dengan logo PastiPas mencoba memberikan frame layanan dasar yang bersifat melayani, dan pada beberapa kasus hal itu berhasil, namun masih banyak yang belum berubah.

Apakah akan terdapat pengaruh dari kenaikan harga BBM pada bisnis Pertamina, jawabnya tentu saja dari kemampuan para pesaingnya meningkatkan value dari layanan yang diberikan pada pelanggan.

Pembangunan sistem jaringan layanan, keterjangkauan lokasi, serta memberi solusi atas rumusan pelayanan yang semakin memberikan rasa nyaman serta penuh keamanan, akan mendukung peningkatan nilai bisnis SPBU asing dari waktu ke waktu.

Disisi yang berbeda, pencabutan subsidi BBM, perlu membuat Pertamina untuk mereposisi bisnis hilirnya, karena harga bukan menjadi keunggulan bersaing secara mutlak, yang menyebabkan para pembeli kemudian datang secara berulang di outlet SPBU milik Pertamina.

Panjangnya antrian dan harga yang tidak lagi kompetitif, serta beberapa kejadian yang tidak menyenangkan, mulai dari potensi kriminalitas, hingga praktek culas di SPBU plat merah tentu akan semakin mendegradasi nilai merek perusahaan tersebut.

Langkah sigap Pertamina perlu dibuat secara profesional untuk kembali melakukan penataan layanan, karena kini saatnya bertanding dan mencari, bukan lagi disuapi dengan penuh kemudahan.

Arsitektur pelayanan harus diinternalisasi secara meluas, karena Pertamina dalam pengembangan jaringan melibatkan peran swasta, dan untuk itu edukasi akan konsep layanan paripurna perlu diimplementasikan secara praktis.

Bila hal tersebut telah menjadi sebuah kesadaran baru pada perusahaan sekelas Pertamina tentu bukan hal yang mudah, mengurai tumpukan lapis birokrasi diddalamnya.
Semoga momentum ini menjadikan Pertamina sebagai perusahaan tangguh, profesional dan berkelas dunia yang dihormati karena kemampuan strategi bisnisnya lebih dari sekedar asupan subsidi pemerintah.

Sumber foto: www.linkedin.com

Resiko, Inovasi dan Organisasi



Pada upaya pengembangan inovasi sebagai kemampuan berdaya saing didalam kompetisi, maka terdapat prasyarat penting dalam penggunaan inovasi pada sebuah organisasi.

Sesuai dengan teori klasik Schumpeter tentang makna dasarnya inovasi yang diartikan sebagai daya dorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi melalui upaya pengenalan teknik, cara, metode terbaru dalam peningkatan output dan produktifitas.

Melalui perspektif tersebut, result inovasi nantinya adalah berupa relasi atas dampak yang ditimbulkan secara ekonomi, sehingga sebuah inovasi memiliki nilai komersial bagi konsumen.

Pada titik inilah, inovasi menjadi perpaduan dari kepentingan inovator yang tiada lain diartikan sebagai entrepreneur oleh Schumpeter. Pengembangan inovasi dan lingkungan yang menstimulasi lahirnya inovator memerlukan prasyarat akan ruang kebebasan.

Entrepreneur sebagai karakter jelas mengadopsi berbagai nilai prinsip, salah satunya absorpsi resiko, karena penciptaan nilai baru yang bisa dieskalasi secara ekonomis membutuhkan biaya riset yang tidak sedikit, dan tetap memiliki potensi untuk gagal dipasar.

Hal itu membuat seorang wirausahawan memiliki kemampuan pengelolaan resiko, lebih dari sekedar berani mengambil resiko, dimana resiko tertimbang atas suatu aktifitas harus disertai dengan berbagai skema back up plan sebagai langkah mitigasi atas probabilitas kegagalan.

Intrapreneur pada Organisasi

Melalui organisasi ditingkat yang rendah, maka perilaku one man show memudahkan pengambilan resiko dalam sebuah keputusan untuk melakukan inovasi yang dipandang perlu bagi pengembangan bisnis.

Leader pada organisasi sederhana tentu saja sang pemilik usaha, kemampuan pencermatan atas pasar dan pengembangan produk yang akan dilepas kepada konsumen membutuhkan intuisi dan knowledge kepemimpinan dikenal sebagai spirit entrepreneur.

Lalu apa yang terjadi pada sebuah organisasi besar tingkat lanjut, yang tidak hanya luas dalam struktur organisasi karena melibatkan banyak pihak dan pola kepemilikan usaha yang terbuka melalui opsi share publik?.
Pada organisasi berjenis terakhir tersebut, maka stagnasi seringkali terjadi dibanding inovasi karena faktor berlapisnya kewenangan approval, namun demikian masih terdapat potensi pengembangan inovasi lebih jauh.

Nilai pokok pendukung inovasi pada sebuah organisasi besar layaknya Multi-Trans Nasional Company diperkenalkan sebagai intrapreneurship, hal ini dikarenakan letak kedudukan aktor inovasi bukan berposisi sebagai pemilik usaha melainkan para lapisan tenaga manajerial profesional.

Pengembangan jiwa intrapreneurship menjadi bagian penting dari karakteristik kepemimpinan dilevel middle to top management, kreatifitas dan inovasi menjadi bagian dari kerangka pembangunan intraprenerurship.

Kemampuan lapis manajemen untuk menginternalisasi sikap intrapreneur, menjadi daya dukung organisasi bagi kepentingan kompetitif mengatasi ketatnya persaingan bisnis yang penuh dengan dinamika dan berubah secara fluktuatif dalam kecepatan tidak terbayangkan sebelumnya.