
Agaknya kasus Florence terkait ekpresi kekecewaan yang bernada menghina diakun pribadinya berujung keranah hukum, setelah dilakukan penahanan oleh kepolisian daerah Yogyakarta. Masalah ini bermula ketika kita secara nasional sedang dihadapkan pada kondisi kelangkaan BBM bersubsidi, dengan asumsi pembatasan kuota subsidi sesuai amanat APBN 2014.
Meski kini kita terbelah dalam pembahasan isu, dari politik dikancah nasional menjadi terfokus pada tingkat dibawahnya yang berkaitan dengan hubungan social, namun tetap saja hal ini menarik untuk diulas dengan semakin semaraknya berbagai kasus terkait dengan dunia maya.
Sekaligus, menjadi sarana evaluasi bagi keberadaan UU ITE, yang secara bersamaan menjadi pembelajaran penting bagi kita untuk dapat bijak dan dewasa dalam bersosial media. Setidaknya terdapat berbagai kasus diwilayah tanpa batas yang bernama jagad internet tersebut, semisal: gerakan Koin untuk Prita, Twitwar BenHan, Path Dinda, kicauan Fahri Hamzah hingga akhirnya yang terupdate mengenai Florence.
Menjadi signifikan untuk melihat
arah persepsi public terbentuk, termasuk melihat apa yang penting dalam adab
bersosial media, termasuk merefleksikan batas yang terlalu luas dalam UU ITE
yang berpotensi terhadap hilangnya kehendak bebas untuk berekspresi dan
berpendapat diruang privasi.
Ulasan dari berbagai kasus
tersebut mendapat akhir yang berbeda dalam konteks penyelesaian. Pada kasus
kekecewaan layanan sebuah instansi layanan rumah sakit, Prita Mulyasari
mengungkapkan melalui surat pembaca diberbagai situs online, termasuk digroup
milist kemudian berakhir dalam tuntutan hukum yang menetapkan klausul ganti
rugi nominal.
Meski demikian, kasus ini
berakhir dengan dukungan social yang kemudian menguatkan posisi Prita sebagai
Konsumen yang terbilang kecewa dengan pelayanan yang diberikan, bahkan simpati
meluas dan mengalir hingga masuk ke aspek politis, maklum berdekatan dengan
momentum.pemilu 2009. Saat itu, prita menggunakan kata membohongi, kebohongan
dan hasil lab fiktif.
Beda Prita, maka beda pula
BenHan, yang harus berhadapan dengan jerat hukum secara langsung setelah
mencuitkan diakun twitternya ungkapan tentang perampok Bank Century yang
ditujukan kepada politisi nasional yang kala itu berasal dari salah satu partai
yang ditengarai tersangkut kasus LC fiktif di bank tersebut. Case ini bermula
dari twitwar yang dilakukan BenHan dengan akun milik politisi tersebut, pilihan
kata yang digunakan adalah perampok.
Uniknya, empati social yang dibangun melalui media social cepat berkembang biak hingga terkadang pencetus kontroversi tidak sadar bila apa yang diekspresikan kepada public akan menuai badai yang tidak berkesudahan. Padahal dalam asumsi saya, mencuitkan sesuatu di social media merupakan bentuk relaksasi dari aktifitas keseharian yang kita jalani dan alami, sehingga terdapat fase kebebasan.
Hal ini dapat terlihat pada kasus Akun Path Dinda yang harus berhadapan dengan public yang lebih memiliki empati terhadap kaum ibu hamil yang dianggap oleh Dinda tidak berupaya keras untuk mendapatkan kursi duduk pada transportasi umum yang bernama kereta api, meski pemilik akun juga seorang wanita, namun disarankan untuk menjadi though girl, dengan pilihan kata pemalas dan manja. Kasus ini berakhir dengan permintaan maaf kepada public.
Setelah itu, pada momentum PilPres lalu, kita berhadapan dengan reproduksi ide yang massif diberbagai media massa. Salah satu yang fenomenal adalah kicauan Fahri Hamzah yang menyebutkan kata Sinting untuk Jokowi yang berjanji menjadikan hari santri. Hal ini pula yang disebut oleh JK sebagai momentum elektabilitas pasangan no urut 2 dengan kontribusi 10 juta suara yang mejadi factor sukses kampanye PilPres dietape terakhir. Kasus terkahir ini kemudian tidak berlanjut lebih jauh.
Meski banyak yang mengecat
implementasi UU ITE, sejatinya keberadaan UU yang mengintegrasikan humum media,
hukum telekomunikasi dan hukum computing itu menjadi terobosan bagi para pihak
yang memiliki permasalahan untuk diputuskan dalam ranah hukum meski berbasis
bukti digital.
Satu hal yang kemudian justru
lebih aplikatif adalah penggunaan UU ITE sebagai sarana berperkara diranah
hukum. Hal ini tampak jelas terlihat.seperti yang terjadi pada kasus BenHan dan
Prita. Sementara itu, social media pun memberi ruang hukuman social, kepada
Dinda, dan Fahri, dalam bentuk olok-olok (bully). Telaknya kemudian secara
akumulatif terjadi pada kasus Florence yang mendapatkan keduanya.
Catatan Akhir
Social media dan dunia maya secara keseluruhan memang tidak berbatas, namun bukan tanpa tanggung jawab, sehingga keberadaan hal berekspresi sekalipun harus ditempatkan pada kerangka bahwa bentuk pernyataan yang disampaikan tidak menciderai hak orang lain. Untuk hal itu kita dituntut bijak dan dewasa dalam bersosial media.
Selain itu, pilihan diksi semantic dalam bersosial media haruslah cerdas. Ingatlah bahwa smartphone memerlukan smart-user dalam menggunakannya termasuk pada aspek logika berpikir tentu saja. Terlebih dalam hal ini social media merupakan sarana bersosialisasi yang diberikan kemudahannya melalui aplikasi digital.
Satu hal yang pasti, dalam etika bersosial adalah tegas dalam maksud tujuan namun lembut dalam cara. Pepatah menyebut mulut mu harimau mu, hal ini terjadi karena kapasitas bertutur mengindikasikan kemampuan pemahaman kita dalam konteks memberikan penghargaan dan apresiasi pada orang lain.
Dengan demikian kita tidak harus hidup dalam belenggu ekspresi, bahkan dapat berpendapat secara meluas berbekal catatan dapat dipertanggung jawabkan dan factual dengan pilihan diksi dan semantic yang jelas serta dituntut untuk menjadi mahir dalam mengurai pendapat.
Terakhir, dalam hal ini UU ITE pun harus direview dalam kerangka persoalan yang lebih rigid berkaitan dengan aspek hukum, karena keberadaan UU ini hanya akan kebablasan kalau hanya dipergunakan dalam domain social media yang memang dipenuhi dengan berjubel pengguna yang belum tentu sepemahaman.
Social media dan dunia maya secara keseluruhan memang tidak berbatas, namun bukan tanpa tanggung jawab, sehingga keberadaan hal berekspresi sekalipun harus ditempatkan pada kerangka bahwa bentuk pernyataan yang disampaikan tidak menciderai hak orang lain. Untuk hal itu kita dituntut bijak dan dewasa dalam bersosial media.
Selain itu, pilihan diksi semantic dalam bersosial media haruslah cerdas. Ingatlah bahwa smartphone memerlukan smart-user dalam menggunakannya termasuk pada aspek logika berpikir tentu saja. Terlebih dalam hal ini social media merupakan sarana bersosialisasi yang diberikan kemudahannya melalui aplikasi digital.
Satu hal yang pasti, dalam etika bersosial adalah tegas dalam maksud tujuan namun lembut dalam cara. Pepatah menyebut mulut mu harimau mu, hal ini terjadi karena kapasitas bertutur mengindikasikan kemampuan pemahaman kita dalam konteks memberikan penghargaan dan apresiasi pada orang lain.
Dengan demikian kita tidak harus hidup dalam belenggu ekspresi, bahkan dapat berpendapat secara meluas berbekal catatan dapat dipertanggung jawabkan dan factual dengan pilihan diksi dan semantic yang jelas serta dituntut untuk menjadi mahir dalam mengurai pendapat.
Terakhir, dalam hal ini UU ITE pun harus direview dalam kerangka persoalan yang lebih rigid berkaitan dengan aspek hukum, karena keberadaan UU ini hanya akan kebablasan kalau hanya dipergunakan dalam domain social media yang memang dipenuhi dengan berjubel pengguna yang belum tentu sepemahaman.
Sumber foto: mediabistro.com