Sabtu, 30 Agustus 2014

Darurat Diksi dan Semantik di Social Media, tempat Bersosialisasi pada Media Digital


Agaknya kasus Florence terkait ekpresi kekecewaan yang bernada menghina diakun pribadinya berujung keranah hukum, setelah dilakukan penahanan oleh kepolisian daerah Yogyakarta. Masalah ini bermula ketika kita secara nasional sedang dihadapkan pada kondisi kelangkaan BBM bersubsidi, dengan asumsi pembatasan kuota subsidi sesuai amanat APBN 2014.

Meski kini kita terbelah dalam pembahasan isu, dari politik dikancah nasional menjadi terfokus pada tingkat dibawahnya yang berkaitan dengan hubungan social, namun tetap saja hal ini menarik untuk diulas dengan semakin semaraknya berbagai kasus terkait dengan dunia maya.


Sekaligus, menjadi sarana evaluasi bagi keberadaan UU ITE, yang secara bersamaan menjadi pembelajaran penting bagi kita untuk dapat bijak dan dewasa dalam bersosial media. Setidaknya terdapat berbagai kasus diwilayah tanpa batas yang bernama jagad internet tersebut, semisal: gerakan Koin untuk Prita, Twitwar BenHan, Path Dinda, kicauan Fahri Hamzah hingga akhirnya yang terupdate mengenai Florence.
Menjadi signifikan untuk melihat arah persepsi public terbentuk, termasuk melihat apa yang penting dalam adab bersosial media, termasuk merefleksikan batas yang terlalu luas dalam UU ITE yang berpotensi terhadap hilangnya kehendak bebas untuk berekspresi dan berpendapat diruang privasi.
Ulasan dari berbagai kasus tersebut mendapat akhir yang berbeda dalam konteks penyelesaian. Pada kasus kekecewaan layanan sebuah instansi layanan rumah sakit, Prita Mulyasari mengungkapkan melalui surat pembaca diberbagai situs online, termasuk digroup milist kemudian berakhir dalam tuntutan hukum yang menetapkan klausul ganti rugi nominal.
Meski demikian, kasus ini berakhir dengan dukungan social yang kemudian menguatkan posisi Prita sebagai Konsumen yang terbilang kecewa dengan pelayanan yang diberikan, bahkan simpati meluas dan mengalir hingga masuk ke aspek politis, maklum berdekatan dengan momentum.pemilu 2009. Saat itu, prita menggunakan kata membohongi, kebohongan dan hasil lab fiktif.
Beda Prita, maka beda pula BenHan, yang harus berhadapan dengan jerat hukum secara langsung setelah mencuitkan diakun twitternya ungkapan tentang perampok Bank Century yang ditujukan kepada politisi nasional yang kala itu berasal dari salah satu partai yang ditengarai tersangkut kasus LC fiktif di bank tersebut. Case ini bermula dari twitwar yang dilakukan BenHan dengan akun milik politisi tersebut, pilihan kata yang digunakan adalah perampok.

Uniknya, empati social yang dibangun melalui media social cepat berkembang biak hingga terkadang pencetus kontroversi tidak sadar bila apa yang diekspresikan kepada public akan menuai badai yang tidak berkesudahan. Padahal dalam asumsi saya, mencuitkan sesuatu di social media merupakan bentuk relaksasi dari aktifitas keseharian yang kita jalani dan alami, sehingga terdapat fase kebebasan.

Hal ini dapat terlihat pada kasus Akun Path Dinda yang harus berhadapan dengan public yang lebih memiliki empati terhadap kaum ibu hamil yang dianggap oleh Dinda tidak berupaya keras untuk mendapatkan kursi duduk pada transportasi umum yang bernama kereta api, meski pemilik akun juga seorang wanita, namun disarankan untuk menjadi though girl, dengan pilihan kata pemalas dan manja. Kasus ini berakhir dengan permintaan maaf kepada public.

Setelah itu, pada momentum PilPres lalu, kita berhadapan dengan reproduksi ide yang massif diberbagai media massa. Salah satu yang fenomenal adalah kicauan Fahri Hamzah yang menyebutkan kata Sinting untuk Jokowi yang berjanji menjadikan hari santri. Hal ini pula yang disebut oleh JK sebagai momentum elektabilitas pasangan no urut 2 dengan kontribusi 10 juta suara yang mejadi factor sukses kampanye PilPres dietape terakhir. Kasus terkahir ini kemudian tidak berlanjut lebih jauh.

Meski banyak yang mengecat implementasi UU ITE, sejatinya keberadaan UU yang mengintegrasikan humum media, hukum telekomunikasi dan hukum computing itu menjadi terobosan bagi para pihak yang memiliki permasalahan untuk diputuskan dalam ranah hukum meski berbasis bukti digital.
Satu hal yang kemudian justru lebih aplikatif adalah penggunaan UU ITE sebagai sarana berperkara diranah hukum. Hal ini tampak jelas terlihat.seperti yang terjadi pada kasus BenHan dan Prita. Sementara itu, social media pun memberi ruang hukuman social, kepada Dinda, dan Fahri, dalam bentuk olok-olok (bully). Telaknya kemudian secara akumulatif terjadi pada kasus Florence yang mendapatkan keduanya.
Catatan Akhir

Social media dan dunia maya secara keseluruhan memang tidak berbatas, namun bukan tanpa tanggung jawab, sehingga keberadaan hal berekspresi sekalipun harus ditempatkan pada kerangka bahwa bentuk pernyataan yang disampaikan tidak menciderai hak orang lain. Untuk hal itu kita dituntut bijak dan dewasa dalam bersosial media.

Selain itu, pilihan diksi semantic dalam bersosial media haruslah cerdas. Ingatlah bahwa smartphone memerlukan smart-user dalam menggunakannya termasuk pada aspek logika berpikir tentu saja. Terlebih dalam hal ini social media merupakan sarana bersosialisasi yang diberikan kemudahannya melalui aplikasi digital.

Satu hal yang pasti, dalam etika bersosial adalah tegas dalam maksud tujuan namun lembut dalam cara. Pepatah menyebut mulut mu harimau mu, hal ini terjadi karena kapasitas bertutur mengindikasikan kemampuan pemahaman kita dalam konteks memberikan penghargaan dan apresiasi pada orang lain.

Dengan demikian kita tidak harus hidup dalam belenggu ekspresi, bahkan dapat berpendapat secara meluas berbekal catatan dapat dipertanggung jawabkan dan factual dengan pilihan diksi dan semantic yang jelas serta dituntut untuk menjadi mahir dalam mengurai pendapat.

Terakhir, dalam hal ini UU ITE pun harus direview dalam kerangka persoalan yang lebih rigid berkaitan dengan aspek hukum, karena keberadaan UU ini hanya akan kebablasan kalau hanya dipergunakan dalam domain social media yang memang dipenuhi dengan berjubel pengguna yang belum tentu sepemahaman.
Sumber foto: mediabistro.com
 

Kamis, 28 Agustus 2014

Gemuk vs Kurus Kabinet Baru

Jelang pelantikan pemerintahan baru, maka hal akan nampak mengemuka adalah formasi dalam struktur kabinet pemerintahan.
 
Para figur akan bermunculan, dinominasikan dan diseleksi, menjadi kandidat pejabat bertitel menteri. Kabinet diposisikan sebagai perangkat kerja pendukung, menjadi sistem kerja pembantu tugas presiden, serta merupakan bentuk dari gagasan akan pengelolaan kekuasaan.
 
Wacana kini kemudian mengemuka tentang pembentukan kabinet yang ramping selaras dengan postur presiden baru nan langsing akan dijadikan sebagai sebuah model.
 
Sesungguhnya besar atau kecil ukuran kabinet hanyalah aspek artifisial, belum masuk ke arah yang substansial terkait fokus dalam gugus tugas serta wilayah kelolaan kerja.
 
Efektif dan efisien adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar, karena pemerintah harus memastikan arah penerapan kerangka kerja yang berorientasi pada kepentingan masyarakat bangsa secara meluas.
 
Disini tentu menjadi tantangan, dari think tank yang diinisiasi melalui tim transisi untuk membahas konsepsi dalam prinsip pemerintahan baru.
 
Jelas pemerintahan mendatang harus membawa gairah baru dalam spirit nasional serta membentuk sebuah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaya.
 
Untuk itu, sesuai statement bahwa koalisi yang dilandasi hubungan bersyarat, yakni harus tanpa syarat, maka hal ini wajib menjadi sebuah baseline pembentukan kabinet.
 
Tentu saja akomodasi melalui kepartaian dapat dilakukan, sepanjang catatan soal kompetensi, kapasitas dan kapabilitas dapat dipastikan sesuai serta terukur.
 
Aspek kerja sebagai pembuktian atas amanat rakyat yang dilahirkan melalui proses pemilu harus diterjemahkan secara lugas, mengatasi hambatan atau bahkan kompromi politik.
 
Konsep Zaken Cabinet  yang mengedepankan kerja sebagai perwujudan kebutuhan pembangunan dengan menempatkan para profesional dan ahli dibidang yang berkaitan tentu dapat menjadi sebuah format yang dapat dipergunakan.
 
Kita sepakat akan adagium miskin struktur tapi kaya fungsi, hal ini sejalan dengan Lean Management yang ditujukan pada upaya pengelolaan secara sederhana, tepat fungsi dan sasaran sehingga menghindari waste serta lead time, dikarenakan hal terakhir tersebut adalah bagian dari inefisiensi.
 
Waktu adalah hal yang sangat berharga bagi semua pemerintahan, karena tenggat memerintah sekalipun dibatasi oleh waktu yang disepakati secara konsensus nasional dalam sebuah aturan perundang-undangan.
 
Oleh karena itu, totalitas gagasan dan tindakan pemerintahan mendatang, hendaknya difokuskan pada pemanfaatan waktu kerja secara optimal bagi upaya perbaikan kondisi nasional yang menyangkut hajat hidup masyarakat.
 
Perdebatan tentang ramping atau tidaknya kabinet harus disandarkan pada aspek fungsi bagi tujuan diatas, sementara persoalan berbagi jatah kursi menteri hendaknya dikembalikan pada janji untuk tunduk kepada kehendak rakyat dan konstitusi.
 
Bahkan pemberdayaan dari kementerian yang ada dengan alasan rasionalisasi akan berhadapan dengan persoalan klasik terkait sumberdaya yang tersedia pun sesungguhnya tidak menjadi masalah.
 
Tentu saja dengan catatan, harus ada perbaikan atas batas kerja yang jelas agar tidak tumpang tindih dalam kebijakan yang menimbulkan pemborosan dikemudian hari.
 
Bayangkan betapa susahnya berkoordinasi dinegeri ini, bahkan diperlukan dibentuk kementerian koordinator untuk dapat membangun jalinan komunikasi antar para menteri.
 
Satu hal yang pasti, deregulasi dan debirokratisasi adalah hal prioritas dalam upaya membangun pemerintahan secara efektif, sehingga jarak tempuh kebijakan dan keputusan strategis tidak berlarut dalam masa tunggu tak berkesudahan.
 
Jadi, hendaknya ramping atau gemuk ditempatkan pada domain apakah berdampak positif bagi prikehidupan masyarakat sesuai amanah nan tertuang pada pembukaan UUD ‘45 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
sumber gambar: getscoop.com

Menimbang Pajak pada Bisnis Online *Yuk di Order Sist!!!



Salah satu kolom berita hari ini yang menarik adalah perlakukan yang sama bagi pebisnis online, sebagai aplikasi dari pengenaan pajak dari sector e-commerce, sehingga terjadi perlakuan yang setara dengan para pengusaha konvensional.


 Hal ini memang menjadi bagian dari langkah yang ditempuh pemerintah guna menambah pendapatan pajak dalam kerangka ekstensifikasi sumber pendapatan Negara. Dalam kerangka tersebut kita semua paham bahwa upaya yang dilakukan pemerintah memang harus keras dalam memperbanyak pundi kekayaan Negara.


Disisi lain kita masih pula melihat praktik penyelewengan pajak yang dipergunakan oleh korporasi besar yang tidak tuntas ditegakkan oleh Ditjen Pajak. Tanpa harus menyebut nama, maka mekanisme Transfer Pricing dan upaya mengkerdilkan bahkan melakukan manipulasi pelaporan pajak dalam nominal besar bias berlangsung, bahkan difasilitasi oleh oknum terkait bila kita belajar dari kasus “Gayus”.

Kerangka aturan penerapan pajak online kali ini pun harusnya dapat lebih ketat dalam implementasi teknisnya nanti termasuk melakukan klasifikasi pelaku, membedakan kerangka pebisnis online dalam jaringan korporasi atau individual yang lebih mendominasi.

Seperti dilansir dalam riset Vela dan Google diketahui bahwa nilai pasar e-commerce Indonesia hingga Januari 2014 diprediksi menjadi 8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp98T, dan hal ini masih akan terus meningkat hingga mencapai 24 miliar dolar AS.yakni senilai Rp288T.

Bahkan disinyalir bahwa selama ini pelaku UKM belum secara optimal memanfaatkan pola perdagangan jenis ini meski terdapat energy potensial dalam memaksimalkan upaya perdagangan melalui jejaring di dunia maya yang didukung oleh perkembangan teknologi modern.

Bila pemerintah berdalih bahwa ini akan diperlakukan secara adil, dan bahwa mekanisme e-commerce dipandang sebagai varian dalam berbisnis, maka tentu dalam kerangka operasional pengenaan pajak tersebut dapat dilaksanakan secara proper dan sesuai.

Tidak dapat disangkal seluruh pihak saat ini bergelut pula dalam perdagangan online baik yang berkelas perusahaan besar hingga toko kelontong individu, ada pula yang berbasis website berbayar ada juga yang mengandalkan blog semata atau bahkan melalui social media.

Selain pengkategorian harus tepat sasaran, maka yang tidak kalah pentingnya bahwa aturan ini hendaknya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan mempertahankan animo dan bahkan menumbuhkan minat pelaku bisnis baru untuk terlibat langsung dalam dunia usaha.

Sudah berulang kali disebutkan bahwa negeri besar ini masih terbilang marjinal lapisan pengusaha, pun termasuk pengusaha kelas teri yang masuk kategori UKM, padahal kelompok golonganterakhir ini pula yang memiliki daya tahan untuk berada dalam kondisi ekonomi yang tersulit sekalipun, seperti pengalaman krisis moneter 97-98.

Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dan lebih kreatif dalam membuka saluran pendapatan baru, jangan sampai insiatif pajak ini menimbulkan disinsentif bagi pelaku bisnis khususnya UKM. Akhirnya, jangan pula terjebak pada penggalangan pajak yang sangat meluas sementara kerangka sumber pajak yang eksisting tidak maksimal digarap khususnya di sektor pertambangan, oli & gas serta perkebunan besar.

Sebagai penutup, bisa jadi nantinya ungkapan penjual bisnis online akan berubah menjadi seperti berikut: “Yuk Sist di Order, belum termasuk Ongkir dan Pajak Lho, karena orang bijak taat Pajak, ini kata orang Dinas Pajak sist”.
sumber foto:info-bisnispctku.blogspot.com
sumber data: republika, Kamis 28 Agustus 2014

Senin, 25 Agustus 2014

Menyoal Komunikasi Pemerintah dalam Kelangkaan BBM Bersubsidi

Kondisi langka adalah sebuah hal yang terjadi akibat senjangnya kebutuhan dari persediaan, dalam aspek ekonomi, maka kelangkaan terjadi ketika permintaan melebihi kemampuan sumberdaya dalam memenuhinya.

Pada bentuk grafik supply vs demand, maka pertemuan antara upaya pemenuhan dan garis kebutuhan itu akan membentuk harga keseimbangan.

Kali ini, kelangkaan BBM bersubsidi terjadi, menyeruak serta menjadi pemberitaan media cetak, radio maupun televisi pada saat yang bersamaan.

Indikasi pembatasan yang dilakukan Pertamina selaku penyedia kebutuhan BBM bersubsidi, merupakan siasat untuk menghindari terjadinya over kuota penggunaan.

Hal tersebut tentu berkaitan dengan anggaran negara, serta merupakan langkah tersingkap untuk mengurai benang kusut soal subsidi BBM.

Dipatok kuota BBM bersubsidi dalam revisi 2014 yang berada pada volume 46 juta kiloliter harus dihemat agar tidak kebobolan, caranya dengan mengirit distribusi, disitu letak soal terkait hal kelangkaan itu timbul.

Ketiadaan langkah alternatif yang diajukan dalam upaya menjawab persoalan terkait BBM bersubsidi membuat pemerintah tampak ambigu dalam banyak kebijakan.

Pembangunan infrastruktur bagi transportasi massal yang layak dan manusiawi tidak kunjung dimulai secara komprehensif dan berkelanjutan, terlebih kebijakan otomotif dalam aspek produksi mobil murah justru dipersetujui.

Belum lagi kegagalan dalam mendorong switching konversi bahan bakar ke gas yang tak kunjung tuntas, ditambah dengan perilaku konsumen domestik yang belum teredukasi akan pentingnya anggaran keuangan negara nan sehat.

Setiap hari kemacetan hadir di Ibukota, menjadi bagian keseharian yang tidak terpisahkan, bisa dibayangkan nilai bahan bakar yang terbuang dan tersia-sia.

Sektor dan pilihan moda transportasi yang buruk mengakibatkan tidak hanya bengkak biaya konsumsi BBM, tetapi juga membuat waktu tempuh dan harga akhir semakin meningkat, termasuk produktifitas langsung yang hilang karena waktu produktif yang tergerus kemacetan.

Bagaimana kita bersikap atas kelangkaan BBM bersubsidi kali ini? Sesungguhnya solusi terkait sudah banyak dilontarkan, harus ada komitmen pemerintah yang aktual untuk mengambil langkah non populis.

Disini letak kemampuan komunikasi publik pemerintah dituntut untuk lihai dalam menjelaskan, bagaimana strategi dan langkah yang dibuat agar masyarakat mampu memahami dan melaksanakan tanpa kegaduhan.

Pun termasuk pada kebijakan yang terkait, diberbagai sektor yang menjadi penyumbang konsumsi BBM bersubsidi, untuk dapat menjaga stabilitas anggaran pembangunan.

Bila langkah pembatasan dilaksanakan, tanpa memberi penjelasan terkait bagaimana konsepsi pemerintah dalam mengatasi masalah subsidi BBM ke depan, maka dipastikan gurandil pencoleng yang mengambil ceruk keuntungan pun akan bersiap mengambil momentum.

Langkah alternatif seperti penggunaan bahan bakar dengan jenis biofuel yang hijau dan terbaharukan harus ditindaklanjuti pada skala komersial secara serius dalam aspek implementasi dan operasional.

Untuk itu, pemerintah harus mampu menegaskan strategi jangka panjang pada situasi kali ini, agar tidak berkembang spekulasi yang menimbulkan kondisi ketidakpastian.

Jika angka disodorkan hanya dalam bentuk tindakan serupa pembatasan tanpa ada keterangan penjelas, maka semakin lengkap tudingan soal gagalnya perumusan cetak biru masalah ketahanan energi kita.

Sumber foto: sindotrijaya.com

Minggu, 24 Agustus 2014

Membangun Negara Berdaya Saing



Esensi penting dari sebuah kompetisi adalah menjadi yang terbaik, dan dalam sebuah persaingan, maka yang menjadi penentu adalah kemampuan untuk dapat berdaya saing. Tidak ubahnya dengan hasil studi yang dipaparkan Oleh World Economic Forum ditahun 2014 ini yang menyatakan bahwa Indonesia berada diposisi ke38 dari 148 negara yang diteliti.

Lembaga non profit yang berbasis di Swiss tersebut melihat aspek potensi dalam pengembangan berinovasi dan kekuatan market size domestic menjadi bagian yang mendongkrak performa Indonesia yang naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya (rangking 50 pada tahun 2013 dari 144 negara).

Jelas kita patut untuk bersenang diri, namun pada saat yang bersamaan secara rasional perbandingan dengan beberapa Negara tetangga dalam kawasan Asia Tenggara patut dibuat agar dapat melihat bagaimana kesiapan kita dalam membangun daya saing yang dihadapkan pada pernyataan bahwa kita akan terintegrasi melalui wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015 mendatang.

Penerapan Free Flow good and services teramasuk arus modal serta tenaga kerja yang terbuka dengan penghapusan hambatan tariff membuat peta persaingan disumsikan akan semakin merata nan meluas untuk menguatkan kapasitas ekonomi ASEAN sebagai suatu kawasan.

Indikasi Global Competitive Index yang dirilis oleh WEF tersebut sesungguhnya mampu menjadi cermin refleksi yang mendalam bagi penyelenggara negeri ini, karena ukuran yang dipergunakan sebagai bagian yang diperhitungkan termasuk diantaranya adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur market size, teknologi serta institusi dan inovasi.

Bila disandingkan dengan Singapura (2), Malaysia (24), Brunai (26) dan bahkan Thailand (37) maka memang terlihat banyak hal kompleks yang perlu diperbaiki dalam membangun kemampuan bersaing. Berdaya saing berarti mampu memberikan nilai tambah, dalam aspek sumberdaya yang kita miliki saat ini.

Apa artinya hal tersebut diatas? Daya saing diperoleh dengan aktifitas meningkatkan nilai tambah dimana kita akan secara efektif dan efisien menggunakan seluruh sumberdaya yang ada dalam menghasilkan kinerja serta performa yang berkualitas, dimana hal tersebut akan menjadi pembeda diantara pesaing yang sekaligus memberikan keunggulan bersaing.

Dalam kerangka yang lebih luas, tentu hal yang akan dikerjakan menjadi lebih besar, dan itu adalah tantangan pemerintahan ke depan. Perbaikan aparatur birokrasi dan penguatan kapasitas kelembagaan serta institusi yang ditujukan bagi penguatan kerangka struktur ekonomi dalam negeri menjadi sebuah keharusan mutlak.

Merumuskan dan mengimplementasikan pelaksanaan tata kelola pemerintahan bersih yang menyebabkan terjadinya kepastian dalam aspek regulasi dan segala aturan usaha terkait akan memberikan jaminan kemudahan bagi pelaku usaha untuk berkembang tentu menjadi harapan sejuk ditengah kelesuan pertumbuhan ekonomi nasional.

Mendorong stimulasi dan insentif yang kuat dalam membangun masa depan melalui layanan dasar dibidang pendidikan dan kesehatan harus menjadi komitmen yang direalisasikan lebih dari sekedar obral janji masa pemilihan guna sekedar menarik simpati demi mendulang suara,

Kekuatan yang selama ini ditonjolkan melalui agregat buying dalam total volume ukuran pasar domestic yang besar seharusnya diarahkan secara positif dengan membangun kemandirian pengusaha local agar tidak hanya menjadi penonton dan pembeli ditengah arus deras barang dan jasa yang akan dipertukarkan pada MEA mendatang.

Bila sudah demikian, jika kita menganalogikan tantangan ini menjadi sebuah kurun waktu layaknya kepungan badai, karena daya saing kita yang belum mumpuni, maka kita tentu berharap agar pemerintah tidak membangun benteng kukuh dengan proteksi yang berlebihan menghadapi badai kali ini, melainkan membuat pondasi dan struktur untuk membuat kincir angin yang dapat memanfaatkan energi gerak dari hembusan badai menjadi sebuah imbas energi positif yang berguna.

Mari kita berbenah dan bersiap untuk itu.

sumber foto: kris170845.wordpress.com

Kamis, 21 Agustus 2014

Hal Tersisa Pasca Putusan MK dan DKPP

*Tantangan Presiden Terpilih dalam Eavluasi RAPBN 2015

Akhirnya keputusan yang dinanti tersebut, pungkas sudah diumumkan oleh sidang majelis Mahkamah Konstitusi, bahkan tanpa disertai dissenting opinion. Final sudah bahwa gugatan dalam sengketa hasil Pilpres diakhiri dengan pernyataan bahwa seluruh gugatan ditolak.

Jelas bahwa hasil ini mengukuhkan posisi legal dari keputusan hasil rekapitulasi pemungutan suara Pilpres yang telah dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU. Pun termasuk putusan yang dihasilkan dalam forum yang berbeda di DKPP dengan pernyataan bahwa KPU dinyatakan melanggar etika untuk beberapa lokal tingat daerah.

Lalu apa yang menjadi catatan penting dari hasil yang telah berkeputusan final dan tetap serta mengikat dalam aspek hukum tersebut? Serta bagaimana kemudian kita melihat bangsa ini yang hampir terbelah pada sebuah episode panjang kontroversi yang dihelat oleh kelompok pendukung dan elit politik?

Terlepas dari hasil akhir di MK dan DKPP, sesungguhnya euforia dalam Pilpres kemarin sempat mengaburkan banyak waktu dan konsentrasi kita untuk berargumentasi dalam kepentingan kekuasaan, sementara itu tidak banyak yang memperhatikan hal penting dalam tantangan besar pada kehidupan bernegara yang telah merdeka 69 tahunlamanya, sebagaimana yang tercermin dalam RAPBN 2015.

Seperti diurai dalam nota keuangan dan pembacaan RAPBN 2015, maka keberlangsungan pemerintahan mendatang dalam mewujudkan kepentingan yang lebih luas bagi elemen bangsa dan negera adalah memastikan kemakmuran dan keadilan sebagai sendi dari perikehidupan berbangsa dan bernegara serta hadir ditengah masyarakat secara langsung.

Namun, apa boleh buat RAPBN 2015 memiliki postur yang nampaknya tidak similar dengan kehendak pemerintahan mendatang untuk dapat menterjemahkan soal kedaulatan, kemandirian dan berkebudayaan. Bagaimana tidak asumsi yang dipergunakan dalam rumusan RAPBN 2015 nampak jauh dari kebutuhan untuk bisa berdaya.

Dengan angaran yang berada dalam posisi defisit Rp257T, maka tambalan yang dapat dilakukan adalah dengan berhutang, terlebih pertumbuhan ekonomi dipatok pada angka 5.6% sementara asumsi inflasi berada dikisaran 4.4% sesuatu yang nampak muskil karena indikasi dari beban produksi yang akan bertambah sebagai akibat konsekuensional dari imbas kenaikan ongkos produksi .

Belum lagi kita akan bicara upaya mengurangi defisit dengan melepas beban subsidi BBM yang akan secara langsung berhadapan dengan kaitan lonjakan harga barang. Dalam bahasa yang sangat sederhana, maka tugas pemerintahan mendatang sangatlah berat dan hal ini tentu tidak bisa dipikul oleh sebagian golongan dan kelompok tertentu.

Oleh karena itu, bersatu dalam kesatuan sebagai bangsa dan negara adalah sebuah hal yang menjadi catatan penting untuk diperbaiki setelah badai menerpa diseputaran Pilpres. Agar kemudian bangsa ini menjadi kuat dalam kebersamaan sehingga tantangan ekonomi menjadi lebih mudah untuk dijinakkan.

Bila kemudian orientasi kekuasaan hanya dikejar untuk persoalan kemenangan tertentu saja, maka sesungguhnya makna kemerdekaan yang substansial dan hakikat dalam hidup bernegara akan harapan adil, makmur dan sejahtera hanya merupakan angan semata.

sumber foto: hepinews.com

Rabu, 20 Agustus 2014

Karen Mundur? Kenapa Tidak..


Salah satu kegagalan dalam proses berorganisasi adalah ketidakmampuan untuk membuahkan proses kepemimpinan berkelanjutan, karena keseluruhan rangkaian aktifitas bisnis menjadi berhenti pada satu figur personal, disitulah titik awal berhentinya gerak mesin organisasi.

Tokoh yang menjadi pembicaraan kali ini adalah Karen Agustiawan yang terlihat mendadak mundur dari jabatan sebagai Direktur Utama Pertamina, dengan alasan pribadi untuk menjadi pengajar dan memiliki waktu me-time.

Banyak spekulasi yang berkembang terkait dengan berbagai hal yang nampak mendadak, namun satu yang pasti perusahaan pelat merah seperti Pertamina tidak bisa berhenti hanya karena seorang Karen, sebab begitu banyak telenta berbakat yang dapat mengganti posisi kosong tersebut.

Tentu harapan yang digantungkn adalah bahwa suksesi pergantian kepemimpinan di Pertamina tetap dapat membawa perusahaan negara ini menjadi elemen penting yang dapat bersaing serta bersuara ditingkat dunia.

Leadership yang berhasil dalam transformasi adalah ketika mampu bersinergi untuk menciptakan kepemimpinan baru secara simultan sehingga perkembangan berjalan secara berkelanjutan bagi kepentingan organisasi itu sendiri.

Tipikal One Man Show Management tentu bukan pilihan, dan kondisi tersebut hanya dapat dipahami pada saat perombakan dan fase restrukturisasi yang dilakukan pasca keterpurukan, namun hal terpenting adalah sentuhan profesionalisme secara terfokus, bukan tidak mungkin tampuk kepemimpinan akan dikelola oleh personal dari luar Pertamina.

Karena pilihan Karen adalah kehendak individual, maka tentu tidak terdapat hal yang dapat membatalkan niat pribadi tersebut. Sehingga, dalam hal ini kemampuan regenerasi Pertamina atau proses suksesi yang melibatkan pihak diluar Pertamina sekalipun harus tetap pada posisi menjadi perusahaan berskala internasional yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat bangsa ini.

Tembus ke 500 Fortune untuk kategori perusahaan terbesar kedunia berperingkat 122 dan masuk jajaran wanita berpengaruh didunia bisnis versi Fortune Global diurutan ke 6 adalah sebuah pengakuan akan kapasitas, namun bukan berarti tidak ada yang setara atau bahkan lebih.

Melalui skema yang hampir monopolistik dengan bentang rentang hulu ke hilir, khususnya untuk urusan minyak bumi maka Pertamina sebenarnya memiliki fundamental yang kuat secara bisnis. Namun faktor diluar kendali bisnis yang kerap menjadi ganjalan karena ini urusan hajat hidup orang kebanyakan, termasuk segelintir orang yang bergelimang kemewahan dari urusan minyak bumi.

Bila dibandingkan dengan negara setaranya di Asia Tenggara dengan menengok lokasi yang tidak seberap jauh maka kita tentu akan melihat Petronas dengan kapasitasnya yang hampir mirip bahkan jauh lebih besar. Berbekal pendapatan Petronas sepanjang 2013 adalah U$100,7 miliar dan laba bersih U$17 miliar berbanding Pertamina melalui torehan U$71,1 miliar berlaba U$3,06 miliar.

Padahal sepanjang pengalaman sejarahnya, Petronas adalah perusahaan asing yang pernah mengadopsi gaya pengelolaan minyak bumi ala Pertamina pada periode dekade 1970-an. Tentu hal ini menjadi sebuah hal yang perlu dikoreksi secara komprehensif.

Bayangkan bila Petronas terpampang sebagai sponsor resmi tim balap Mercedes Benz-Formula 1, disisi yang serupa Pertamina masih berkutat dengan sponsorhip GP Formula2. Meski untuk hal itu pun, kita masih perlu dan patut berbangga.

Sumber data: Koran Tempo, Selasa 19 Agustus 2014
Sumber foto: wikipedia.org

Selasa, 19 Agustus 2014

Pertanian Mandiri menurut Pak Boed

Tentu saja lawan bicara saya bukan pak Boed yang ada difoto pada kelas sekolah, ini hasil diskusi dengan tukang pijat langganan yang datang kerumah sesuai panggilan alamiah tubuh.

Ya, pak Boed sudah lama berkecimpung dalam profesi yang ditekuninya saat ini. Dari pembicaraan ringan, saya jadi tahu pak Boed sesungguhnya seorang perantau meski asli berlogat kental Jawa namun berkampung halaman di Ogan Komering Ulu yang ada diseberang pulau.

Pertanian adalah basis penghidupan dikampungnya. Kondisi lahan yang subur pun dipujinya sebagai kondisi “Gemah Ripah Loh Jinawi” yang memiliki kisaran arti sebagai -tentram makmur dan sangat subur tanahnya.

Namun hal itu dirasakan berubah seiring dengan tipikal kepemimpinan nasional pasca ‘98. Agin reformasi membuat mekanisme pertanian praktis menjadi lebih mandiri.

Hal itu terlihat dari hilangnya subsidi pupuk, distribusi benih, serta tidak ada lagi bantuan mesin pertanian, plus ditambah dengan semakin tidak berdayanya koperasi unit desa yang dibangun sebagai bagian dari ketahanan ekonomi daerah.

Satu yang tidak lagi dilihat pak Boed setelah Krismon (Krisis Moneter) adalah ketiadaan penyuluh pertanian yang hadir dan memberikan edukasi pertanian bagi komunitas petani.

Kemandirian terbentuk dalam arti ketidakadilan pemerintah untuk memberikan dukungan bagi para penggerak pertanian dinegara agraris, sehingga praktis ditumpukan pada upaya swadaya kolektif petani.

Sayangnya lokal area pertanian kian menyusut, menurut pak Boed, karena alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan korporasi. Hal ini pula yang membuat petani turun kelas hanya menjadi penggarap.

Belum lagi, lanjut pak Boed, korporasi pula yang menyabotase pembelian pupuk bersubsidi karena kemampuan modalnya yang besar dan hampir tidak menyisakan kuota bagi petani.

Meski menjadi obrolan selingan diantara kegiatan memijat, pak Boed juga memberikan perhatian akan hilangnya fungsi Perum Bulog sebagai stabilisator harga komoditas pertanian.

Tidak dalam bahasa yang rumit memberikan ulasan akan faktor supply versus demand, atau dalam terminologi pembentukan titik equilibirium dengan rentang ceiling Price maupun floor Price berkaitan dengan kuota produksi dan sebagainya.

Jurang yang menganga lebar antara harga jual pasca panen dengan tekanan harga ongkos produksi yang semakin meningkat membuat pak Boed memulai perjalanan kembali sebagai pekerja informal sebagai tukang pijat di Ibukota.

Meski demikian, mimpi pak Boed tetap akan kembali ke kampung halaman untuk bertani setelah pundi uang hasil kerja di Ibukota berhasil dikumpulkannya.

Hmm… wajah pertanian kita memang wajib dibenahi agar kita tidak hanya menjadi lapisan barisan konsumen.

Terlebih korporasi besar asing telah menyatakan minat untuk membuka lahan pertanian modern untuk memasok kebutuhan domestik, duh sungguh sangat celaka bila hal itu terjadi, karena masih ada pak Boed yang bertekad untuk hidup dalam mimpinya dibidang pertanian.

sumberfoto: infoketer.blogspot.com