Menariknya, politik memang selalu
berorientasi kekuasaan sebagai tujuan akhir. Problem utama yang mencuat dalam
proses mencapai tujuan kekuasaan, kerapkali pelaku politik menggunakan shortcut
bahkan dengan cara-cara yang kotor, dan hal itu memang sulit dibersihkan seakan
telah menjadi kerak menggumpal.
Dalam hal ini, media massa merupakan
medium dalam mereproduksi ide untuk dikonsumsi khalayak ramai. Aspek kapasitas
pada keterjangkauan audiens yang meluas, adalah kelebihan sebuah media massa.
Seiring perkembangan jaman, kini teknologi menjadi alat bantu pelontar. Dunia
digital telah menyesaki ruang kehidupan kita, sosial media menjadi sebuah media
massa alternatif anti mainstream.
Dibandingkan media massa
konvensional yang bersifat one to many dan monolog, sosial media dan media
massa digital menawarkan pola komunikasi interaktif dan bersifat many to many.
Dan bersamaan dengan perubahan format media massa tersebut, maka semakin mudah
hoax alias berita bohong mudah disemai, bahkan ditaburkan pada lahan yang
sangat luas.
Diluar persoalan kepentingan
politik, terdapat aspek ekonomi yang terlingkupi khususnya bagi pembuat berita
bohong yang custom and made by order. Ujaran kebencian diproduksi melalui
pemberitaan bohong, lalu disebarkan dengan mudah dan disambar dengan cepat oleh
audiens bersumbu pendek.
Situasi tersebut, dipahami dengan
sangat jelas oleh pembuat berita hoax yang terorganisir, bahwa mayoritas
populasi memiliki tendensi untuk minim verifikasi, menerima informasi diabad
yang disebut sebagai masa tsunami informasi ini tanpa proses validasi dan
check-recheck. Perilaku public tersebut, menjadi modalitas bagi penyebar
kebencian.
Saracen: Gagalnya Komunikasi Politik
Positif
Sosial media dan era media massa
digital membutuhkan kedewasaan sebagai prasyarat penggunanya. Tetapi proses
tersebut bukanlah hal yang mudah. Dan sekali lagi, perlu ditekankan upaya dalam
melakukan kontrol baik berupa sensor dan blokir adalah metode standar dari
wujud ketidakmampuan pemerintah menghadirkan realitas positif baik disektor
politik maupun ekonomi.
Kebencian dan kebohongan merupakan
frasa yang saling melengkapi. Namun, hal ini menjadi posisi yang ambigu dari
sudut pandang yang meluas, karena semua pihak berpotensi melakukan penyebaran
kebohongan dan kebencian. Kita mahfum, dunia ini berisi banyak pihak yang
memandang berbeda untuk satu kasus tertentu, termasuk didalamnya persoalan
politik.
Sehingga, baik kubu pro dan kontra,
punya peluang yang sama menciptakan serta mereproduksi kebohongan serta ujaran
kebencian. Pihak yang pro akan berupaya mempertahankan prinsipnya, mendorong
pemberangusan perbedaan pandangan, sedangkan pihak yang kontra akan berupaya
mendorong terciptanya wacana tandingan menggoyah kondisi yang aktual. Kini
hanya dengan kontribusi tombol share and forward, viralitas berita bisa menjadi
tidak terkendali.
Lantas siapa yang benar dan salah?
Kedua pihak bisa benar dan sekaligus salah. Mendukung dengan membabi buta,
mengabaikan potensi kesalahan langkah yang dilakukan pengambil kebijakan,
sementara bagi kubu penentang menolak tanpa argumen fundamental seolah
melupakan ada hal-hal baik yang tengah dijalankan.
Sejatinya berhadapan dari waktu ke
waktu dengan kebohongan dan kebencian adalah sebuah tindakan mubazir alias
kesia-siaan. Pembentukan badan siber nasional, bila ditujukan hanya menangkal
hoax dan hate speech, maka ibarat menggarami air dilaut.
Jika demikian bagaimana mengatasinya?
Medorong masyarakat untuk terbiasa dalam proses konsumsi berita secara dewasa,
memperhatikan siapa pembuat berita, apa manfaat berita tersebut dan berpuasa
melakukan share and forward sebelum memastikan proses rechecking. Tentu saja
menggunakan media social dan digital diarahkan serta ditujukan bagi hal-hal
positif dan produktif.
Sementara itu, pemerintah memiliki
tugas yang jauh lebih berat. Menghadirkan realitas politik dan ekonomi secara
positif dan merangkul semua pihak untuk berkomunikasi. Wajah yang telah bopeng
sebelah karena kebohongan, akan kembali pulih dengan pola komunikasi yang lebih
baik oleh pemerintah, serta menghadirkan prinsip keadilan serta kesejahteraan
melalui instrumen kekuasaan yang dimilikinya.
Bila telah mampu melewati badai ini,
kita akan bertransformasi menjadi bangsa yang cerdas dan naik kelas!.
Sumber foto: detik.com